Ibu, ketika tirani dunia Internasional yang bernama Dollar telah membuat semua orang di Asia merasa dicekik lehernya, kaummulah yang kulihat paling merasakan sakitnya cekikan itu. Aku bukan hendak mengatakan, bahwa sakitnya cekikan itu lebih karena kaummulah yang mayoritas mendominasi barisan panjang para pengantri sembako.
Bukan Ibu, aku ingin mengatakan bahwa sakitnya cekikan itu terutama karena aku anakmu ini dilahirkan di era generasi susu kaleng. Betapa tidak, ketika modernisasi dan aktualisasi diri telah menjangkiti kaum wanita di negara-negara dunia ketiga, aku dan bayi-bayi neonatus lainnya tidak dapat lagi merasakan nikmatnya ASI. Para wanita karir (sebagian dengan berpegang pada jargon feminisme) bukan saja telah menjadikan modernisasi dan aktualisasi diri sebagai alasan-alasan modis. Mereka lebih rela menyaksikan anak-anak mereka “disusui” oleh sapi lewat berpuluh macam merek susu kaleng. Maka ketika harga susu melesat setinggi langit, mereka bukan saja stress memikirkannya, melainkan juga mendadak menjadi “kreatif” dengan menyulap air adonan beras menjadi susu, alih-alih menggantikan “peran” sapi.
Ibu, aku tahu bahwa beralihnya sebagian kaummu ke susu kaleng selain karena alasan di atas, juga karena sugesti iklan. Memang, sublimasi bahasa iklan telah membuat sebagian orang tidak mampu lagi membedakan mana mimpi dan mana realita. Iklan telah mempengaruhi imaji mereka tentang proses tumbuh kembang kehidupan anak seperti proses tumbuh kembang anak pada bahasa teve.
Ibu, kondisi seperti ini makin membuatku iri hati kepada generasi-generasi terdahulu. Aku yakin Bu, masa kecil orang-orang seperti M.H. Thamrin dan Rasuna Said, misalnya tidak tumbuh dalam kehebatan manfaat susu kaleng. Tapi mengapa mereka justru tercatat sebagai manusia yang dikenang bangsanya sepanjang masa. Sementara aku yang tumbuh dalam kehebatan susu kaleng yang satu, ke susu kaleng yang lain cuma bisa menciptakan keprihatinan nasional dengan aksi tawuran, aborsi, seks bebas, dan penggunaan obat-obatan terlarang ? Apakah ini ada hubungannya dengan dengan filosofi kaleng yang nyaring dipukul karena tak ada isinya ?
Ibu, kaummu tentu telah mafhum benar bahwa peran dan manfaat ASI tak pernah tergantikan. Itu karena ASI mengandung zat-zat pelindung dari berbagai infeksi. Cairan kental kekuningan (kolostrum) yang keluar dari payudara seorang Ibu memiliki faktor-faktor lengkap untuk pertahanan tubuh bayi. ASI juga mengandung zat dycosa hexanoid acid, sejenis asam lemak yang berfungsi membentuk sel-sel otak. Engkau tentu lebih paham bahwa intelejensi seorang anak amat dipengaruhi oleh jumlah sel otaknya.
Ibu, Allah telah menciptakan wanita sebagai madrasah bagi anak-anaknya. Itu anugerah teramat mahal yang tak diberikan Allah kepada kaum pria. Oleh sebab itu, Allah menghendaki kaum wanita menyusui anaknya selama dua tahun (QS. Al Baqarah :233). Selain pemberian makanan pendamping air susu Ibu (MP-ASI) setelah usia 6 bulan. Para ahli gizi mengatakan bahwa ASI yang diberikan kepada bayi, hingga usia dua tahun bermanfaat mengakrabkan jalinan kasih saying antara Ibu dan anaknya secara timbal balik.
Ibu, apakah harus kupercayai bahwa maraknya dekadensi moral pada sebagian remaja merupakan implikasi dari krisis kasih sayang antara Ibu dan anak-anak yang dibesarkan di era generasi susu kaleng ini ?
Ibu, kita semua tentu berharap krisis yang melanda negeri kita segera berakhir. Tapi apakah kita juga memiliki harapan yang sama terhadap krisis akhlak yang sudah merajalela sejak dulu ?
Ibu, jika para ahli gizi menganalisa bahwa ASI yang melambangkan awal curahan kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya telah terkalahkan oleh susu kaleng, apakah engkau percaya ? jika engkau menjawab “ya”, aku sedih Ibu…
Sumber : Majalah Annida No.12 Th. VII Juli-Agustus 1998 (Rubrik 1269 Male)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar