Rabu, 20 Oktober 2010

Penjual Gorengan


“Gorengan !” terdengar suara seorang bocah menjajakan gorengan. Suara itu sayup-sayup sampai ke telingaku, dan cukup untuk membangunkan tidur siangku. Pemilik suara itu tak asing lagi bagiku, karena ia tiap hari lewat di depan wismaku. Aku pun bergegas keluar.

“Gorengan Da..!” katanya dengan ramah dan penuh harap padaku. Aku mengangguk mengiyakan. Bocah itu pun berhenti. Kulihat keringat mengucur deras disekujur tubuhnya. “Ya Allah..” gumamku lirih. Hati siapa yang tak akan iba melihat seorang anak yang mencari rezeki di tengah terik matahari.

“Masih sekolah Dik ?” tanyaku sambil mengambil gorengan. “Masih Da..” jawabnya singkat. “Kelas berapa ?” Aku kembali bertanya, “kelas satu..” jawabnya malu-malu. “Sekolahnya dimana ?” tanyaku lagi, “di es de (SD) Negeri 13 Padang” jawabnya lagi, begitulah seterusnya.

Aku buru terus dengan pertanyaan hingga kudapatkan informasi tentang adik ini. Ternyata bocah itu anak Yatim, Bapaknya telah meninggal. Ia bersama Ibunya yang sakit-sakitan. Untuk membiayai sekolah, ia terpaksa menjual gorengan dengan segala resiko, kadang laku kadang tidak.

Tanpaku sadari mataku basah. “Ya Allah anak sekecil ini sudah mencari nafkah sendiri. Sedangkan aku berfoya-foya dengan uang dari Orang tua.” Tidak berapa lama, beberapa teman kost pulang dari Shopping Centre. “Berapa satu Dik ?” Tanya Ahmad sambil meletakkan barang bawaannya yang baru di beli di Swalayan. “Seratus lima puluh Da..”jawab bocah itu pelan. “Kok mahal sekali ? gak seratus aja ?” tawarnya. “Oo..enggak bisa Da !” jawab bocah itu. “Kalau seratus Uda ambil sepuluh…”, bocah itu hanya diam. “Bagaimana ? bisakan ?” lanjut Ahmad lagi. “Rugi saya nanti Da..” Suasana hening. Penjual gorengan terpaku. Ahmad tidak melanjutkan tawarannya. “Mau beli enggak ?” tanyaku pada Ahmad sambil mengeluarkan uang dari saku untuk membayar gorengan yang telah kumakan.

Bocah itu akhirnya pergi, kembali menjajakan gorengannya. Beberapa saat kemudian suaranya tak terdengar lagi. Belum sempat kami bubar, tiba-tiba datang Bang Edi dari kamarnya. “Darimana Mad ?” tanyanya mengawali pembicaraan. “Biasa, dari Shopping Centre” jawab Ahmad. “Gorengannya mana ?” Bang Edi bertanya lagi. “Enggak jadi beli. Masa harganya seratus lima puluh” jelas Ahmad. “Lagipula saya masih kenyang. Habis makan di pasar”. “Saya Heran,” kata Bang Edi. Kami semua diam ingin tahu kelanjutan kalimatnya. “Kalau di pasar kita jarang menawar. Barang yang gak perlu kita beli. Mahal-mahal lagi, tapi..” kata Bang Edi terputus sambil batuk-batuk. “Tapi..dengan penjual gorengan yang hanya menjual untuk mencari sekedar penyambung hidup, kita tawar-menawar. Bahkan sampai hati kita tak jadi membeli dengan alasan terlalu mahal. Mestinya kita jangan mikir kesana. Anggap saja bersedekah, membantu orang miskin”.

Kulihat muka Ahmad merah karena malu. Kami semua merasa disindir oleh Bang Edi. Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa tawar-menawar dalam urusan berdagang haruslah melihat situasi dan kondisi.

Sumber Tulisan : Majalah Annida (Rubrik Pernik oleh Malyan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar