Minggu, 14 November 2010

Cinta Di Atas Cinta


Perempuan oh perempuan ! Pengalaman batin para pahlawan dengan mereka ternyata jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan. Apa yang terjadi, misalnya, jika kenangan cinta hadir kembali di jalan pertaubatan seorang pahlawan ? keagungan !

Itulah, misalnya, pengalaman batin Umar Bin Abdul Aziz. Sebenarnya Umar seorang ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia besar di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.

Tapi begitu ia menjadi Khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh mendadak pada detik inagurasinya. Ia pun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan merubah Dinasti Umayyah. “Aku takut pada neraka”, katanya menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama terbesar zamannya, pionir kodifikasi hadist, yang duduk di sampingnya, Al-Zuhri.

Ia mulai perubahan besar itu dari dalam dirinya sendiri, isteri, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras itu akhirnya membuahkan hasil. Walaupun hanya memerintah dalam waktu 2 tahun 5 bulan, tapi ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa’ Rasyidin. Maka ia pun digelari Khalifah Rasyidin kelima.

Tapi itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok. Saat itulah isterinya datang membawa kejutan besar, menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya. Ironis, karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga sebaliknya. Tapi isterinya Fatimah, tidak pernah mengizinkannya atas nama cinta dan cemburu. Sekarang, justru sang isterilah yang membawanya sebagai hadiah. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.

Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu biru. Kenangan romantika sebelum saat perubahan, bangkit kembali dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi saat cinta ini hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai. Cinta dan cita bertemu atau bertarung, disini, di pelataran hati sang Khalifah, sang pembaharu.

Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu ? Tidak ada ! tapi, “Tidak ! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus kembali ke dunia perasaan semacam ini” kata Umar. Cinta yang terbelah dan tersublimasi diantara kesadaran psiko-spiritual, berujung dengan keagungan. Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta ! Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.

Tidak ada cinta yang mati disini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya dengan sendu, “Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang ?”.Umar bergetar haru, tapi kemudian ia menjawab, “Cinta itu masih ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam”.

Sumber : Anis Matta Lc (Majalah Tarbawi Edisi 55 Th. 4 20 Maret 2003)

Antara Khadijah dan Aisyah



Rumah tangga Rasulullah SAW dengan Khadijah RA merupakan teladan yang tak ada habisnya. Meski Rasulullah baru berumur 40 tahun dan istrinya sudah 50 tahun.

Kita tentu tak bisa melupakannya begitu saja, jasa-jasa Khadijah. Selama Muhammad berkhalwat di Gua Hira, Khadijalah yang membawakan makanan dan minuman untuk suaminya. Padahal, jarak menuju gua hira sangat jauh. Gua ituterletak di puncak Jabal Nur yang tinggi serta berbatu-batu runcing.

Sesudah mendapatkan wahyu, Muhammad menggigil kedinginan. Khadijah menyelimutinya dengan penuh kasih sayang. Hati Rasulullah kian tenteram setelah mendengar pernyataan Khadijah yang beriman kepadanya.

Maka, ketika Khadijah meninggal, Rasulullah sangat bersedih. Justru tatkala kelembutan serta kebijaksanaannya dibutuhkan, pada saat-saat rawan menghadapi perlawanan kaum musyrikin di awal penyebaran dakwahnya.

Hingga tiga tahun lamanya Rasulullah tetap menduda. Setelah berpindah ke Madinah, barulah beliau bersedia menikah dengan Aisyah, putrid sahabatnya sendiri, Abu Bakar As-Shidiq RA.

Aisyah seorang yang cantik. Dan, dialah satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi ketika masih gadis. Akan tetapi, tak mudah bagi Rasulullah untuk dapat menghilangkan kenangan indahnya bersama Khadijah, yang usianya terpaut 15 tahun lebih tua. Seringkali Nabi mengigau, dan dalam igauannya yang sering disebut-sebut adalah Khadijah.

Kalau kebetulan sedang makan berdua, Nabi minta disediakan tiga piring makanan. Dengan keheranan Aisyah bertanya “untuk siapa piring yang ketiga ini ? bukankah kita cuma berdua ?”, Nabi menjawab “yang sepiring akan kusedekahkan kepada orang lain. Pahalanya kuberikan untuk Khadijah”.

Lama-lama Aisyah tidak tahan lagi melihat kondisi ini. Ia bertanya “Ya Rasulullah, dihadapanmu ini ada seorang istri yang cantik jelita. Masih muda dan segar. Amat setia kepada suami. Tetapi kenapa masih kau sebut-sebut juga istri yang sudah meninggal, yang kau nikahi dalam usia lanjut ? apa sebabnya ? dan apa rahasianya kemuliaan wanita yang sudah janda dua kali sebelum jadi istrimu itu ?”

Nabi SAW dengan bijak tetapi tegas menerangkan, “Aisyah, Khadijah sungguh amat mulia. Allah tak kan pernah menggantikan untukku seorang istri yang lebih baik daripadanya”.

“Apa keistimewaannya, Ya Rasulullah ?” Tanya Aisyah lebih lanjut, penuh rasa ingin tahu.

Nabi menjawab, “Khadijah mencintaiku pada saat aku sedang sengsara. Khadijah beriman padaku pada waktu orang lain tidak percaya dan menganggapku gila. Khadijah memberikan banyak sekali pengorbanan untukku ketika orang lain menolakku dan memusuhiku. Patutkah aku melupakan perempuan seagung itu, walaupun misalnya ia bukan istriku ? Dan dia adalah istriku, Aisyah”.

Ia tetap istriku hingga kapan juga. Maut sekali pun tak mampu memisahkan hubungan suami istri, kecuali secara lahiriah dan berdasarkan hukum telah terpisah di dunia”.

Sumber : Majalah Sabili No.2 Th. VII (1999)

Senin, 08 November 2010

Kadaver


Hari Kamis, seperti biasa ada praktikum anatomi. Hari itu akan membahas topografi tungkai. Tetapi hari itu aku enggak ada persiapan sama sekali. Tadi malam enggak belajar, lembur membantu tetangga yang ada hajatan sampai larut malam. Makanya hari itu aku enggak punya semangat, bawaannya malas terus.

Dan seperti yang kuduga, aku cuma bisa bengong di samping kadaver (mayat manusia). Suara asisten yang menerangkan sambil mengotak-atik paha bagaikan suara angin lalu, enggak ada yang faham sama sekali. Anak-anak banyak yang menimpali, saling diskusi, bertanya, berdebat, pokoknya heboh. Memang sih, sebelum praktikum tanpa modal. Ngantuk, malas, capek, ingin bertanya tapi apa yang mau ditanya. Bau formalin semakin menambah rasa malas, menyengat dan bikin mata pedih.

Di saat-saat kejenuhan seperti itu, aku mengalihkan pandangan ke wajah kadaver di depanku itu. Kebetulan aku berdiri tepat di samping wajahnya. Ah..seorang wanita muda. Matanya terpejam, rambutnya sebahu, basah oleh formalin. Kulitnya hitam dan kasar. Formalin yang menusuk hidung itu telah membuatnya hitam dan kaku. Tetapi aku bisa menebak kalau dia sebetulnya cantik, hidungnya kelihatan mancung.

Ada sebuah koyo di dahinya. Mungkin sebelumnya dia sakit kepala. Apa gara-gara sakit kepala dia menemui ajalnya ya ? dan kenapa jasadnya sampai disini ? kasihan sekali enggak ada yang mengurusinya. Kemana keluarganya ? Apa dia enggak punya keluarga ? Tampak wajahnya memelas sekali. Bagaimana nasibnya sekarang di alam barzakh ya ? Apakah dia tahu kalau sekarang tubuhnya sedang diotak-atik anak-anak kedokteran ? Apakah dia tahu kalau kelak dagingnya diiris-iris, otaknya akan diambil, isi perutnya pun akan diobrak-abrik, hingga nanti tinggal tulang-tulangnya saja ? Dan apakah dia rela tubuhnya dijadikan kadaver ? Toh kita dulu enggak minta izin sama dia. Ah..kalau enggak begitu darimana kita belajar anatomi ? Segala macam pertanyaan bergelayut di benakku.
Betapa kejamnya kita memperlakukan mayat seperti itu. Kulihat anak-anak masih tetap heboh di sekeliling tubuh wanita muda tak berdaya itu. Bahkan ada yang sesekali bercanda dan tertawa-tawa. Tak ada yang berpikir bagaimana nasib wanita itu di alam barzakh sekarang. Apakah dia mandapatkan siksa apa tidak. Ah, mereka tak akan sempat memikirkan itu, mereka sibuk menghapal nama-nama syaraf. Tetapi betapa kejamnya kita, di sisi orang meninggal tega juga tertawa-tawa. Aku juga menyadari kalau enggak malas seperti itu kadang aku juga bercanda seperti mereka.

Kualihkan pandanganku pada kelompok lain. Disana juga ada mayat, tetapi mayat seorang laki-laki tua. Bahkan katanya mayat itu mayat baru, yang beberapa bulan meninggal.

Kulihat betapa mayat-mayat itu sudah tak berdaya. Dan mayat wanita muda di depanku pun bernasib sama. Tak bisa apa-apa. Dia telah mati. Ruhnya sudah kembali kepada Tuhannya. Jasadnya tak dibawanya juga. Hartanya tak dibawanya. Bahkan kecantikan tak dibawanya juga. Dan dia tak mampu apa-apa ketika pisau-pisau bedah itu mengiris-irisnya. Dia tak mampu protes tubuhnya dijadikan kadaver.

Tiba-tiba saja aku teringat akan kematian yang tak diketahui datangnya. Entah tua atau muda, sakit atau tidak, kematian datang begitu saja. Dan dengan begitu saja dunia yang indah ditinggalkan, tanpa membawa apa-apa. Tiba-tiba saja aku teringat akan hidupku selama ini. Apa yang bisa kubawa selama ini ? Terbayang dosa-dosaku selama ini, yang jarang bersyukur, jadi orang pemalas, suka sholat molor, dan lain-lain.

Ah, hari itu ternyata aku mendapat banyak pelajaran. Aku telah mendapat ilmu dari wanita muda berkoyo itu. Terima kasih ya Rabbi. Engkau mengingatkan aku untuk selalu mengingatMu dan untuk selalu dekat denganMu agar aku juga dekat denganMu di akhirat nanti.
(Sebuah catatan Mahasiswa Kedokteran)

Sumber : Majalah Annida N0.5 Th. VII 1997 (Dari rubrik Yang Jadi Kenangan Oleh Afiana Rohmani)

Nabi Memilih Istri


Sepeninggal istrinya, Khadijah, Rasulullah SAW dirundung duka yang amat dalam. Tiga tahun lamanya, hari-hari dilalui Nabi dengan hidup menduda. Sampai datanglah seorang wanita bernama Khaulah Binti Hakim Assalamiyah menemui beliau.

“Bagaimana pendapat engkau, wahai Rasulullah, jika engkau saya sarankan menikah lagi ?” kata Khaulah memberanikan diri.

Mendengar itu, tentu saja Nabi terkejut. “Siapa yang sanggup menggantikan Khadijah ?” gumamnya. “Putri Abu Bakar, Aisyah..” jawab Khaulah. “Kuakui Aisyah memang cantik dan lincah. Ia juga putri orang yang kupercaya. Tapi yang kubutuhkan bukan cuma seorang istri, melainkan Ibu untuk anak-anakku. Padahal Aisyah masih terlalu muda”.

“Justru itu lebih baik bagi engkau dan baginya, wahai kekasih Allah” tukas Khaulah. “Untuk membuat ukiran yang indah, dibutuhkan kayu yang lunak dan pahat yang tajam. Aisyah ibarat bahan ukiran yang bagus, karena masih muda, sehingga gampang dibentuk. Sedangkan engkau adalah pahat yang tajam. Bagaimana bisa engkau mendidiknya jika ia tidak kau jadikan seorang istri ?”

Nabi tercenung. Dengan bimbang beliau berkata “Aku tidak sampai hati memperlakukannya sebagai seorang istri”. “Tapi beberapa tahun lagi ia sudah matang dan siap melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri” kata Khaulah. “Tapi itu masih lama, Khaulah. Sementara itu, siapa yang mengurus anak-anakku ?”

Khaulah tersenyum lebar. Ia sudah merencanakan sesuatu yang rasanya tidak akan ditolak Nabi. Ia yakin, Nabi bukan lelaki pemuja kecantikan, melainkan pendamba kesucian dan ketulusan. Penghormatan dan penghargaannya kepada wanita tidak memandang usia. Karena itu Khaulah berkata “Untuk menunggu Aisyah dewasa dan menjadi istri yang sempurna, bagaimana kalau Rasulullah menikahi Saudah Binti Zum’ah Al-Amariyah ?”

Rasulullah tertegun. Ia teringat akan pengorbanan Saudah selama menjadi istri As-Sakran Bin Amru Al-Amiri, salah seorang yang hijrah ke habsyah. Di negeri itu, As-Sakran ternyata murtad dan memeluk Nasrani. Saudah pun menuntut cerai. Bisa dibayangkan, betapa menderitanya Saudah hidup di negeri asing tanpa pendamping. Dan ketika wanita-wanita lain kembali ke Madinah dengan suami mereka, Saudah harus berjalan sendirian. Alangkah panjang malam-malam yang harus dilalui Saudah, sebagai janda yang miskin.

Berpikir sejauh itu, Rasulullah berkata “Baiklah, Khaulah. Pinangkan Saudah dan Aisyah untukku”.

Khaulah segera berangkat ke rumah Abu Bakar untuk menyampaikan lamaran Nabi. Sesudah itu, tanpa menunggu kegirangan Abu Bakar habis begitu mendengar berita itu, Khaulah melanjutkan perjalanannya ke rumah Zum’ah, Ayah Saudah. Orang tua itu tentu saja tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Ia yang tadinya selalu murung melihat nasib anaknya, tiba-tiba bagaikan menjadi lebih muda sepuluh tahun dari usianya.

Kaum musyrikin dan orang-orang Yahudi tertawa mengejek begitu mendengar Nabi akan menikahi Saudah. “Muhammad menikahi Saudah, perempuan yang tidak masuk hitungan itu ? kalau saja ia mau menghentikan dakwah Islam, tentu akan kita sediakan gadis-gadis cantik untuknya”.

Tentu saja mereka tidak memahami cara berpikir Rasul yang bersih dari hawa nafsu. Bagi mereka, kaum wanita adalah tempat pelampiasan syahwat. Sedangkan Nabi sangat menghormati kaum wanita. Beliau pernah bersabda, “tidaklah bisa menghargai wanita, kecuali orang yang mulia. Dan tidaklah akan menghinanya, kecuali orang yang hina”.

Sumber : Majalah Sabili No.19 Th. 7 (1999)

Sensitifitas Kepahlawanan


Para pahlawan mukmin sejati mempunyai pendengaran jiwa yang sangat peka. Ia dapat menangkap semua panggilan kepahlawan, darimana pun datangnya panggilan itu, dan sekecil apapun suara panggilan itu. Panggilan kepahlawanan itu senantiasa menciptakan getaran dalam jiwanya, getaran yang senantiasa menggodanya untuk mengepakkan sayap cita memenuhi panggilan itu.

Suatu ketika Rasulullah SAW mengatakan kepada sahabat-sahabatnya “suatu saat Konstantinopel pasti akan dibebaskan, dan sebaik-baik pasukan adalah komandan yang memimpin pembebasan itu”. Demi mendengarkan sabda sang Rasul, para sahabat beliau segera bergegas mempersiapkan diri. Tapi Abu Ayyub Al-Anshari langsung mengambil kudanya, menerjang gurun sahara menempuh jalan panjang menuju Konstantinopel, seorang diri.

Kota itu sendiri baru dibebaskan kaum muslimin delapan ratus tahun kemudian, pasukan Utsmaniyah dibawah pimpinan seorang pemuda berusia 23 tahun, Muhammad Al-Fatih Murad. Tapi Abu Ayyub Al-Anshari telah mencatat namanya sendiri pada sebuah ruang sejarah kepahlawanan yang terhormat, sebagai syahid pertama di jalan pembebasan itu.

Apakah beliau sempat membunuh musuh-musuh Allah dalam perjalanan itu ? Tidak ! tapi posisi terhormat sebagai syahid pertama di jalan pembebasan itu telah menjadi hak sejarah beliau. Jadi apa yang tepatnya telah beliau lakukan untuk itu ? Yang beliau lakukan untuk itu adalah : memenuhi panggilan kepahlawanan itu di awal bunyi suara panggilan itu, menyatakan rindu yang jujur pada kehormatan menjadi syahid di awal senandung nada kepahlawanan itu, mengepakkan sayap cita menuju jalan pembebasan begitu sang rasul menyelesaikan sabdanya.

Kepioniran adalah sebuah kehormatan tersendiri, karakter yang unik dari sebuah kepahlawanan, dan karenanya ia mempunyai ruangnya sendiri dalam sejarah kepahlawanan. Dalam semangat kepioniran tersimpan getaran kepekaan jiwa sang pahlawan, yang dapat merasakan sentuhan kepahlawanan dari kejauhan. Dalam semangat kepioniran ada rindu yang tak pernah selesai dari sebuah penantian panjang akan datangnya momentum kepahlawan setiap saat. Para pahlawan itu seperti berdiri disini, diujung jalan sejarah, menanti kereta kepahlawanan yang setiap saat akan lewat.

Begitu juga Hanzalah. Ia masih sedang menikmati dunia yang halal di malam pengantin ketika panggilan Jihad itu menggema di seantero kota Madinah. Ia segera meninggalkan kenikmatan halal itu sebelum sempat mandi, dan kemudian syahid dalam keadaan masih junub. Malaikatlah yang kemudian memandikannya.

Begitulah ia menggapai singgasananya dalam sejarah kepahlawanan, ketika ia mempertemukan dua dunia yang tampak kontras dan berlawanan, tapi kemudian menyatu dengan indah dan begitu mengharukan dalam rengkuhan semangat kepioniran, getaran kepekaan, dan rindu pada keabadian yang tak pernah selesai.

Sumber : Anis Matta Lc (Majalah Tarbawi Edisi 26 Th. 3 2001 dalam Rubrik Thumuhat)

Minggu, 07 November 2010

Perjalanan Panjang Islam Di Nusantara


Islam di nusantara. Dengan 200 juta pemeluknya, tak ayal menjadi komunitas Islam terbesar di dunia. Namun anehnya, budaya yang berkembang bukanlah budaya Islam. Seakan masyarakat tercerabut dari akarnya dan gamang diantara banyak pilihan.

Sebuah ungkapan satire menggambarkan sebuah fenomena pahit. “India yang merupakan Negara Hindu, namun mengembangkan kebudayaan Islam sebagai produk wisatanya. Sedangkan Indonesia sebagai Negara berpenduduk mayoritas Islam mengembangkan budaya Hindu dan Budha sebagai produk wisatanya” ironis.

Dalam sebuah diskusi ringan, ada sebuah teori mengenai sebab tidak berkembangnya kehidupan Islami di Indonesia. Umat Islam di Indonesia menurut teori tersebut lupa bahwa Islam merupakan syarat kebesarannya di masa lalu. Syarat pemersatu nusantara, dari Pasai hingga Uryan (Irian atau Papua). Syarat benteng dan keamanan Negara dan infiltrasi dan imperialisme. Bahkan juga syarat mutlak langgengnya kehidupan berbangsa dan bernegara hingga kini.

Umat Islam di Indonesia seakan terlupa dengan sejarahnya. Atau sejarah itu ditutupi dengan sedemikian rupa. Hingga mereduksi dengan sangat, peran Islam dalam kemajuan bangsa. Masyarakat lebih mengenal Sriwijaya dan Majapahit sebagai ikon bangsa di masa lalu. Namun lupa akan kebesaran Pasai, Demak, Barus, Malaka, Banten, Ternate, Tidore, Gowa hingga Bandar besar Jayakarta. Kesultanan ini mampu mempengaruhi perdagangan dunia saat itu. Padahal jaraknya amat jauh dari pusat peradaban dunia di Turki dan Eropa.

Sebagai ilustrasi ringan, tahukah kita asal kata Maluku dan Irian ? konon, dua jazirah yang banyak dikenal sebagai jazirah Kristen ini mengambil nama dari bahasa Arab. Jaziratul Mulk (Jazirah para raja) bagi Maluku karena begitu banyaknya kerajaan kecil disana. Dari Ternate, Tidore hingga Hitu, Bacan dan sebagainya. Semuanya merupakan kerajaan Islam. Juga Jaziratul Uryan (Jazirah telanjang) bagi Irian karena suku asli mereka nyaris bertelanjang bulat. Saat itu (sekitar awal abad ke-17 Masehi) Irian berada dalam kekuasaan Sultan Bacan sehingga pemuka masyarakat di kepulauan Irian beragama Islam. Juga para penduduk di pesisir yang lebih terbuka, mereka beragama Islam.

Fakta ini banyak ditutupi dalam buku-buku sejarah yang kita pelajari kini. Siswa sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi selalu dicekoki tentang Sriwijaya yang Budhis dan Majapahit yang Hindu. Bahkan banyak tokoh bangsa diselewengkan agamanya. Ingat Sisingamangaraja XII dan Ahmad Lessy  alias Pattimura ? inilah penjarahan yang paling berbahaya. Penjarahan sejarah. Penjarahan ini akan menghilangkan identitas suatu bangsa. Mereduksi kebanggaannya sehingga menutup jalan untuk merintis kebesaran di masa datang.

Dan kini merupakan keharusan kita untuk membuka lembaran sejarah dalam kejujuran. Agar terbuka semua hikmah dan pelajaran yang berharga. Agar menjadi batu loncatan untuk proses kemajuan umat dan bangsa di masa datang.Sekaligus mengembalikan identitas bangsa. Bahwa bangsa ini beragama Islam dan seharusnya bangga akan Islam. Sebagaimana para pendahulu bangsa ini, peletak dasar peradaban bangsa ini.

Sumber : Majalah Al-Izzah No.21 Th. 2 (2001)

Ulat


Ulat adalah binatang yang oleh sebagian besar orang dianggap menjijikkan, bahkan menakutkan. Ketika melihatnya tak jarang orang menghindar, mengusir bahkan membunuhnya. Tapi sikap jijik dan takut itu berubah ketika sang ulat berhasil mentransformasi dirinya menjadi kupu-kupu.

Ia merubah seleranya sebagai pemakan daun menjadi penggemar sari bunga, merubah sifatnya sebagai hama dan penyebar penyakit menjadi penyebar kehidupan bunga-bunga baru, pembentuk lahan kosong menjadi taman nan indah, merubah motilitasnya yang lambat melata menjadi penerbang gesit nan lincah. Alih-alih ditakuti sang ulat menjadi dicari, dikagumi dan dipuji oleh mereka yang dulu merasa jijik padanya. Gejala munafik ? salah besar.

Adalah fitrah manusia untuk mencintai keindahan. Kupu-kupu mewakili penafsiran akan keindahan tersebut, tapi ulat tidak. Kupu-kupu adalah wujud nyata dari sebuah penafsiran lain, bahwa keindahan tidak harus terlahir dari sesuatu yang indah. Keindahan bisa lahir dari kejijikan, bahkan terkadang bisa lebih indah dari apa yang dilahirkan oleh keindahan itu sendiri.

“…manusia yang baik pada masa jahiliyahnya akan baik pula pada masa Islamnya, jika mereka memahami agama”. Hadist riwayat Muslim ini bisa dikatakan sebagai sebuah motivasi dari Rasulullah bagi mereka yang berniat sungguh-sungguh untuk mentrasformasi dirinya kepada Islam sekaligus menunjukkan keutamaan mereka dari manusia lainnya. Merekalah “generasi ulat” yang dicatat sejarah sebagai kupu-kupu penghias taman sejarah Islam. Mereka adalah Umar Bin Khattab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Khalid Bin Walid, Abdurrahman Bin Auf, Salman Al-Farisi dan para mantan “dedengkot” penjahat Quraisy yang ditakuti kekuatannya, kejeniusannya saat jahiliyah maupun saat Islamnya.

Mereka adalah generasi yang mampu merubah dirinya 180 derajat, merubah penampilannya yang buruk dan kotor menjadi rapi dan bercahaya. Merekalah generasi dakwah yang hanya dengan kesehariannya saja dapat membuat orang tertarik dengan Islam. Mereka juga mampu menjadikan Al qur’an bukan sekedar doktrin-doktrin utopis belaka, bukan sekedar topik-topik diskusi rumit, tetapi lebih kepada sistem hidup yang terbaik yang dapat langsung diamalkan. Jadi tidaklah mengherankan jika Madinah berkubang khamr, ketika Allah dan Rasul-Nya mengharamkan khamr. Dan dalam hitungan detik pula tidak terlihat lagi sehelai rambut perempuan pun, karena telah tertutup oleh sobekan-sobekan kain ketika Allah dan Rasulnya mewajibkan jilbab.

Generasi itu tak akan tergantikan kecuali oleh mereka yang bersedia untuk totalitas dalam berislam. Tidak memilih dan memilah mana yang mereka anggap baik untuk kemudian mencoba “mendikte” Allah dengan pengamalan syariat seenak perutnya. Asy-Syahid Sayyid Qutb telah menegaskan “ambil Islam seluruhnya atau tidak sama sekali !” itulah aplikasi atas perintah Allah dalam QS. 2:208 sebagai konsekuensi logis sebuah keimanan, bahwa pilihan itu hanya dua, beriman totalitas atau menjadi munafiq yang setali tiga uang dengan kafirin.

Generasi kita ibarat generasi ulat yang menjijikkan, membuat manusia menjadi takut dan menghindar, citra Islam pun terbawa negatif. Karena itu bersyukurlah mereka yang telah berhasil dalam metamorfosisnya, menjadi mukmin yang hakiki, yang totalitas dalam Islamnya. Bukan mukmin labelis yang bangga dengan julukan tapi pada hakekatnya tetap kepompong.

Sumber : Majalah Tarbawi Edisi 26 Th. 3 (2001)

Rabu, 03 November 2010

Cermin Besar Itu Bernama Masa Lalu


Hari itu Umar Bin Khatab menangis. Terbayang lekat di pelupuk matanya, kisah masa lalunya sebelum Islam. Sebuah rentetan episode Jahiliyah yang pahit dan sulit terlupakan. Air matanya mengalir deras saat teringat anak perempuannya yang ia kubur hidup-hidup. Suara anak itu serasa masih memanggilnya, sayup-sayup, meminta belas kasihnya.

Peristiwa itu benar-benar menggoreskan pilu yang sulit dihapus. Sesaat sebelum terbenam di bawah tanah, anak itu masih bermain riang mengiringi Ayahnya yang menggali tanah dengan susah payah. Bahkan setiap kali debu dan pasir galian mengotori janggut sang Ayah, anaknya lah yang penuh kasih membersihkan debu-debu itu. Ia tak sedikitpun mengerti, bahwa galian itu dibuat untuk dirinya. Segalanya berlalu begitu cepat, dan Umar pun mencatat peristiwa itu sebagai bagian dari sejarah hidupnya di masa jahiliyah.

Waktu terus bergulir. Enam tahun sesudah Rasulullah diangkat menjadi Rasul, benih keimanan tersemai di dalam hati Umar Bin Khattab. Sejak itu ia menjadi salah satu pembela Islam yang paling tegas. Bahkan ia yang mengusulkan dimulainya era perjuangan secara terang-terangan. Bersama Hamzah dan Umar, kaum Muslimin keluar “unjuk kekuatan” di hadapan orang-orang Quraisy. Umar pun telah mengukir sejarah barunya. Bahkan di masa selanjutnya, ia menjadi sahabat agung, menjadi khalifah kedua, dan termasuk sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.

Seperti Umar, sahabat-sahabat Rasulullah yang lain, semua orang punya masa lalu, yang buruk maupun yang baik. Karena setiap langkah manusia adalah perilaku. Setiap kata yang terucap adalah perilaku. Segala tindakan yang dipilih adalah perilaku. Dan segala yang kita lakukan akan tercatat dalam lembaran masa lalu kita. Setiap kita, setiap Muslim tentu punya masa lalunya sendiri. Yang menyedihkan atau pun yang menggembirakan. Masa lalu yang mungkin saja orang lain tidak pernah tahu. Bahkan orang yang sangat dekat sekalipun. Masa lalu hanya dirinya sendiri dan Allah yang tahu. Seluruh yang pernah terjadi hanya bisa dilupakan, tetapi tidak akan pernah dihapus atau dianggap tidak ada. Sebab ia telah terukir dalam sejarah peristiwa. Sesuatu yang pernah ada tidak mungkin dianggap tidak ada.

Tetapi bukan berarti masa lalu tidak punya manfaat. Justru keberadaannya menjadi sangat penting. Ia menjadi cermin bagi setiap orang, untuk menata langkah hidupnya yang tersisa. Dalam Islam, penghargaan terhadap fungsi masa lalu terletak pada dua hal mendasar.

Pertama, pada manfaatnya untuk tempat mengambil pelajaran. Artinya, manfaat masa lalu adalah untuk dijadikan tempat bercermin. Apa yang buruk dari masa lalu tidak boleh diulangi, sedang apa yang baik harus ditingkatkan. Pengalaman masa lalu adalah contoh kongkrit dan bukti nyata dari bermacam ikhtiar. Masa lalu telah mengajarkan secara detil bagaimana orang gagal itu gagal, bagaimana orang sukses itu sukses, bagaimana orang sengsara itu sengsara.

Kedua, selain fungsi pelajaran, masa lalu menurut pandangan Islam adalah kumpulan anak tangga sejarah yang harus di sambung dengan anak tangga yang baru. Hidup ini akan bergulir, dunia akan menjadi hidup, bila setiap generasi mengambil peran di zamannya masing-masing. Sebab dengan itu ia telah menyambung masa lalu dengan sejarahnya hari ini. Sebab sejarah yang kita ukir hari ini akan menjadi masa lalu yang berharga bagi generasi sesudah kita. Begitu seterusnya.

Bercermin kepada masa lalu, bekerja keras pada hari ini, dan menata hari esok, hanyalah salah satu cara untuk menyiasati hidup ini sebaik mungkin. Sebab, seperti telah dikabarkan Rasulullah, setiap kita hanya akan menjadi salah satu dari empat jenis orang. “Di antara manusia ada yang dilahirkan dalam keadaan beriman, lalu hidup sebagai seorang mukmin, dan mati sebagai orang mukmin. Ada yang dilahirkan dalam kekafiran, lalu hidup sebagai orang yang kafir, lalu mati sebagai orang kafir. Ada yang lahir dalam keadaan beriman, hidup sebagai mukmin, dan mati sebagai orang yang kafir. Ada yang lahir dalam kekafiran, hidup sebagai orang kafir, dan mati dalam keadaan beriman” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim).

Al-Baqillani mengutip sabda Rasulullah S.A.W, “sesungguhnya seorang mukmin itu berada di antara dua hal yang sangat menakutkan. Antara usia yang telah berlalu, ia tidak tahu apa yang diperbuat Allah terhadap usia yang telah lewat itu, dan antara usia yang tersisa, ia tidak tahu apa yang telah Allah tetapkan atas dirinya. Maka hendaklah setiap jiwa mengambil untuk dirinya, dari dirinya sendiri. Dari dunianya untuk akhiratnya, dan dari masa mudanya untuk hari tuanya, dan dari hidupnya untuk sesudah kematiannya. Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada sesudah kematian waktu untuk berusaha. Sesudah dunia tidak ada kehidupan kecuali surga atau neraka”.

Sumber : Majalah Tarbawi Edisi 24 Th. 3 (2001)

Kendali Diri Melalui Iman


 Kisah Zulaikha Dan Nabi Yusuf A.S.

Bicara tentang “pemuasan hawa nafsu” yang satu itu, mau enggak mau terbayang adalah suatu keinginan mencapai “surga dunia” tapi yang di dapat malah “neraka dunia-akhirat”. Sejarah mencatat bahwa jika manusia tidak pandai-pandai mengendalikan diri, maka jatuhlah ia ke dalam lembah kenistaan. Kecuali terhadap orang-orang yang bertaubat.

Kita pasti sudah tahu kisah antara Zulaikha dan Nabi Yusuf a.s. Kita pun sama-sama faham dari sirah bahwa Allah SWT memang mengkaruniakan ketampanan luar biasa kepada Nabi Yusuf a.s. Kalau sekarang sih, Cover Boy aja lewat kali ! Bahwa jika Zulaikha madly in love with Yusuf, itu manusiawi. Akan tetapi, ketika Zulaikha tidak dapat lagi menggunakan akal sehat dan kesadarannya, maka disitulah, letak kesalahan wanita itu. Bayangkan saja, sampai enggak malu-malunya ia merayu Yusuf, bahkan hawa nafsunya membuat ia lupa diri. Lupa bahwa Yusuf bukan suaminya dan ia pun Istri orang pula !

Alhamdulillah..Allah memberikan kekuatan iman yang luar biasa kepada Yusuf. Meski kemudian fitnah menderanya, penjara menantinya. Betapa ia lebih baik memilih di penjara di dunia, daripada ia mengikuti hawa nafsu Zulaikha dan mendapat laknat Allah.

Alhasil Zulaikha belakangan menyadari bahwa dialah yang salah. Ia lah yang ingin “menceburkan” diri ke kenikmatan sesaat dan laknat selamanya. Zulaikha menyadari kesalahannya dan bertaubat. 

Awal Masuk Maksiat

1.   Pandangan : Dari sinilah muncul suatu kehendak akibat melihat. Jika syahwat itu ikut andil, timbul kerinduan dan rasa cemas ingin bertemu. Hati jadi resah dan tak konsentrasi.
Obatnya : Menundukkan pandangan (Ayat 24:30-31)

2.   Al Khatrah (bayangan yang melintas dalam hati). Timbul angan-angan, kehendak yang kuat. Bila bayangan ini menguasai diri, akan mudah melakukan maksiat dan kekejian.
Obatnya : memikirkan ayat-ayat Allah, merenungkan nikmatnya, mengkoreksi cacat diri.

3.   Lafadz (ucapan) bisa berupa rayuan, kata-kata pujian atau ditulis menjadi surat cinta. Semuanya menggambarkan keadaan hati yang merindu.
Obatnya : berkata baik atau diam.

 4.  Langkah/perbuatan.
Setelah ke-3 di atas terlaksana maka bergerak dan terlaksanalah semua keinginan apakah dilanjutkan atau tidak.
Obatnya : Selalu mengarahkan anggota tubuh untuk berbuat yang baik dan melangkah di jalan yang diridhai Allah.

Semoga kita dapat melaksanakan pengendalian diri di atas. Terutama jika rasa itu dialami oleh diri kita.

Sumber : Kisah-kisah Islami Annida

Zulaikha, Balqis Dan Kaumnya


Kini lahir wacana baru keperempuanan tentang pria. Intinya : yang hidung belang, mata keranjang, pikiran ngeres adalah ilustrasi mutakhir bagi kaum pria. Sedangkan wanita, menurut para aktivis feminis itu, secara “fitrah” berhak sesuka hati berjumpalitan di sektor-sektor publik mana saja. Soal rok mini, lipstik menyala, dada dan punggung terbuka, itu menjadi tugas pria untuk tidak lagi mempersepsikannya sebagai godaan setan yang terkutuk. Terserah sebagai apa kek.

Bagi Nabi Yusuf, barangkali ini wacana yang menggelikan. Soalnya, seumur-umur beliau belum pernah nyuitin seorang wanita pun, apalagi sampai mengajak ngelaba. Maha suci Allah yang telah melindungi beliau dari bencana seperti itu. Tapi apa yang beliau temui pada diri Zulaikha ? Zulaikha menggoda nabi Yusuf agar mengkurangajari harkat kewanitaannya (QS. Yusuf: 23). Paradigma apakah yang dipakai Zulaikha sehingga ia bertindak seperti itu ? Yusuf jelas bukanlah seorang laki-laki dandy, meski beliau dikaruniai wajah tampan. Dengan demikian, jika sejarah yang telah terdokumentasikan dalam Qur’an ini dijadikan parameter interaksi pria-wanita, mestinya para aktivis feminis itu tidak menyemprotkan statement asbun (asal bunyi) yang hidung belang itu siapa ? yang mata keranjang dan berpikiran ngeres itu siapa ? survey telah membuktikannya, Bo !

Tapi, baiklah, itu mungkin Cuma mission muke tebelnya Zulaikha. Namun, kemudian apa yang dilakukan Zulaikha ? tampaknya isteri Al-Aziz itu tergolong wanita yang (maaf) otaknya sudah kelewat karatan. Lihat saja, aib dirinya yang telanjur tersebar kemana-mana itu bukannya direhabilitasi dengan sikap terpuji, ia malah menjebak para tetangganya dengan mempolitisir wajah supercool Yusuf. Dan hasilnya ? “Mana tatkala wanita-wanita melihatnya, mereka kagum pada keelokan rupanya dan mereka melukai jari tangan mereka” (QS. Yusuf: 31). Jika Zulaikha mendadak menjadi wanita ganjen yang bikin geregetan suami dan para tetangganya, Balqis justru sebaliknya. Tak tampak sedikit pun perilaku miring Zulaikha pada diri wanita penguasa negeri Saba itu. Memang, Balqis sempat memasang perangkap untuk menjebak Nabi Sulaiman. Tetapi ia menggunakan hartanya, bukan tubuhnya. Dan ketika ia tahu bahwa yang ia hadapi bukanlah seorang raja biasa, ia justru tersadar dari kesesatannya. Lalu seraya mengakui kenabian Sulaiman, ia pun berkata : “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. An Naml: 44).

Nah, kini ilustrasi aktual tentang Zulaikha dan Balqis dapat kita jumpai pada akhir setiap lintasan tokoh dan peristiwa di media massa. Sebagian kita barangkali sudah sangat mengenal Marylin Monroe sebagai kita juga telah sangat akrab dengan Zainab Al-Ghazali Al-Jabili. Seorang Marylin Monroe, misalnya telah mempermalukan anggota keluarga bekas presiden Amerika Serikat, karena aktris itu membuat skandal dengan seorang pria bernama John Fitzgerald Kennedy. Sementara itu, Zainab Al-Ghazali Al-Jabili telah menyentakkan kesadaran kaum muslimah di seluruh dunia tentang hakikat dirinya, ketika beliau berdakwah bersama Hasan Al-Banna. Allah melihat. Malaikat mencatat. Dan hari ini kita menyaksikan kafilah panjang mereka di penghujung usia dunia yang terus bergulir bersama kefanaannya. Wallahu A’lam.

(Catatan yang ambil dari rubrik khusus Ikhwan, maksudnya supaya mayoritas muslimah jadi tahu, bagaimana pandangan Ikhwan terhadap lawan jenisnya).

Sumber : Majalah Annida No.7 Th. VII (Rubrik 1269 Male oleh M. Yulius).

Segelas Susu Buat Adi


Adi menatap Dodi yang yang sedang meneguk segelas susu. Adi bisa merasakan betapa nikmatnya susu itu melihat cara Dodi minum yang berselera. “Enak Dod ?” Adi bertanya. Dodi tidak menjawab. Cuma matanya merem melek keenakan. Setelah tegukan terakhir, ia menjilati bibirnya. “Hmm...syedaaaap...” kata Dodi. Adi menelan ludah. Ingin sekali rasanya ia merasakan susu yang dinikmati Dodi. Tapi kata Dodi susu itu mahal harganya. “Yuk ah..aku harus pulang, Mau mandi”. Dodi berlari meninggalkan Adi. Anak itu masuk ke rumahnya. Adi menatap Dodi hilang di rumah besar bercat putih itu. Lalu ia berbalik. Ia harus pulang juga. Mak pasti sudah menunggu di rumah.

Adi memperhatikan Mak yang sedang menguleni adonan untuk Pisang goreng. Kelihatan capek. Tadi pagi Mak mencuci banyak sekali. Dan siangnya harus menyeterika. Lalu habis sholat Ashar Mak langsung membuat adonan untuk Pisang goreng. “Kenapa Di ? kok tidak biasanya kamu memperhatikan Mak seperti itu ?” tiba-tiba Mak bertanya. Adi tersipu-sipu. “Mak kalau Adi minta sesuatu boleh enggak ?” akhirnya Adi menjawab. Mak menghentikan gerakan tangannya mencelupkan Pisang ke adonan tepung. Mak heran, tidak biasanya Adi meminta sesuatu. Walaupun berumur hampir enam tahun sepertinya Adi mengerti betapa susahnya kehidupan mereka. Betapa Mak harus membanting tulang untuk makan mereka berdua karena Bapak telah meninggal sejak ia berusia satu tahun. “Adi mau minta apa ?” Mak bertanya setelah diam sejenak.

“Adi ingin minum susu seperti Dodi”. Mak menghela nafas panjang. Matanya mulai berkaca-kaca. Anak satu-satunya minta dibelikan segelas susu seperti temannya. Sebuah permintaan yang wajar. Dan memang sudah seharusnya anak sebesar Adi selalu minum susu tiap hari. Tapi apa dayanya ? “Mak bisakan Adi mendapat segelas susu? Nanti Adi akan lebih giat membantu Mak. Bisa ya, Mak ?” Adi berkata penuh harap. Mak tidak tega untuk mengecewakannya. Anaknya tidak pernah minta yang macam-macam selama ini. Ia selalu menerima apa adanya. Barangkali sekarang begitu besar keinginannya sampai meminta kepada Mak. Akhirnya Mak Cuma bisa mengangguk dalam diam. Mata wanita itu kini semakin berkabut melihat sinar kebahagiaan di mata anaknya. “Terima kasih, Mak. Sekarang Adi mau bersiap-siap menjajakan gorengan ini, Ntar Adi terus ngaji ke Masjid, ya Mak”.

“Lihat Dod. Sekarang aku juga bisa minum susu seperti kamu” dengan bangga Adi memperlihatkan segelas susu yang diberikan Mak barusan kepada Dodi. Lalu dengan gaya persis Dodi ia meneguk susu itu dengan nikmat. Dodi menatap dengan iri. Sepertinya susu yang diminum Adi lebih nikmat daripada susu yang biasa ia minum. “Enak Di ?” Dodi bertanya meyakinkan. Adi mengangguk. Ia mengelap sisa-sisa susu di bibirnya sebelum menjawab. “Hmmm.....syedaaaaaap...”

Di rumah Mak menggoreng Pisang dengan air mata berlinang. Ia tahu benar bahwa susu yang diberikannya pada anaknya bukanlah “susu”. Itu ia buat dari air tajin bekas menanak nasi. Ia Cuma bisa berharap anaknya bisa tetap berbahagia walau dengan “susu tajin”.
(Dipersembahkan buat “Adi-Adi” kecil di manapun berada)

Sumber : Majalah Annida Oleh Afifa Ramadanti