Rumah tangga Rasulullah SAW dengan Khadijah RA merupakan teladan yang tak ada habisnya. Meski Rasulullah baru berumur 40 tahun dan istrinya sudah 50 tahun.
Kita tentu tak bisa melupakannya begitu saja, jasa-jasa Khadijah. Selama Muhammad berkhalwat di Gua Hira, Khadijalah yang membawakan makanan dan minuman untuk suaminya. Padahal, jarak menuju gua hira sangat jauh. Gua ituterletak di puncak Jabal Nur yang tinggi serta berbatu-batu runcing.
Sesudah mendapatkan wahyu, Muhammad menggigil kedinginan. Khadijah menyelimutinya dengan penuh kasih sayang. Hati Rasulullah kian tenteram setelah mendengar pernyataan Khadijah yang beriman kepadanya.
Maka, ketika Khadijah meninggal, Rasulullah sangat bersedih. Justru tatkala kelembutan serta kebijaksanaannya dibutuhkan, pada saat-saat rawan menghadapi perlawanan kaum musyrikin di awal penyebaran dakwahnya.
Hingga tiga tahun lamanya Rasulullah tetap menduda. Setelah berpindah ke Madinah, barulah beliau bersedia menikah dengan Aisyah, putrid sahabatnya sendiri, Abu Bakar As-Shidiq RA.
Aisyah seorang yang cantik. Dan, dialah satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi ketika masih gadis. Akan tetapi, tak mudah bagi Rasulullah untuk dapat menghilangkan kenangan indahnya bersama Khadijah, yang usianya terpaut 15 tahun lebih tua. Seringkali Nabi mengigau, dan dalam igauannya yang sering disebut-sebut adalah Khadijah.
Kalau kebetulan sedang makan berdua, Nabi minta disediakan tiga piring makanan. Dengan keheranan Aisyah bertanya “untuk siapa piring yang ketiga ini ? bukankah kita cuma berdua ?”, Nabi menjawab “yang sepiring akan kusedekahkan kepada orang lain. Pahalanya kuberikan untuk Khadijah”.
Lama-lama Aisyah tidak tahan lagi melihat kondisi ini. Ia bertanya “Ya Rasulullah, dihadapanmu ini ada seorang istri yang cantik jelita. Masih muda dan segar. Amat setia kepada suami. Tetapi kenapa masih kau sebut-sebut juga istri yang sudah meninggal, yang kau nikahi dalam usia lanjut ? apa sebabnya ? dan apa rahasianya kemuliaan wanita yang sudah janda dua kali sebelum jadi istrimu itu ?”
Nabi SAW dengan bijak tetapi tegas menerangkan, “Aisyah, Khadijah sungguh amat mulia. Allah tak kan pernah menggantikan untukku seorang istri yang lebih baik daripadanya”.
“Apa keistimewaannya, Ya Rasulullah ?” Tanya Aisyah lebih lanjut, penuh rasa ingin tahu.
Nabi menjawab, “Khadijah mencintaiku pada saat aku sedang sengsara. Khadijah beriman padaku pada waktu orang lain tidak percaya dan menganggapku gila. Khadijah memberikan banyak sekali pengorbanan untukku ketika orang lain menolakku dan memusuhiku. Patutkah aku melupakan perempuan seagung itu, walaupun misalnya ia bukan istriku ? Dan dia adalah istriku, Aisyah”.
Ia tetap istriku hingga kapan juga. Maut sekali pun tak mampu memisahkan hubungan suami istri, kecuali secara lahiriah dan berdasarkan hukum telah terpisah di dunia”.
Sumber : Majalah Sabili No.2 Th. VII (1999)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar