Senin, 08 November 2010

Kadaver


Hari Kamis, seperti biasa ada praktikum anatomi. Hari itu akan membahas topografi tungkai. Tetapi hari itu aku enggak ada persiapan sama sekali. Tadi malam enggak belajar, lembur membantu tetangga yang ada hajatan sampai larut malam. Makanya hari itu aku enggak punya semangat, bawaannya malas terus.

Dan seperti yang kuduga, aku cuma bisa bengong di samping kadaver (mayat manusia). Suara asisten yang menerangkan sambil mengotak-atik paha bagaikan suara angin lalu, enggak ada yang faham sama sekali. Anak-anak banyak yang menimpali, saling diskusi, bertanya, berdebat, pokoknya heboh. Memang sih, sebelum praktikum tanpa modal. Ngantuk, malas, capek, ingin bertanya tapi apa yang mau ditanya. Bau formalin semakin menambah rasa malas, menyengat dan bikin mata pedih.

Di saat-saat kejenuhan seperti itu, aku mengalihkan pandangan ke wajah kadaver di depanku itu. Kebetulan aku berdiri tepat di samping wajahnya. Ah..seorang wanita muda. Matanya terpejam, rambutnya sebahu, basah oleh formalin. Kulitnya hitam dan kasar. Formalin yang menusuk hidung itu telah membuatnya hitam dan kaku. Tetapi aku bisa menebak kalau dia sebetulnya cantik, hidungnya kelihatan mancung.

Ada sebuah koyo di dahinya. Mungkin sebelumnya dia sakit kepala. Apa gara-gara sakit kepala dia menemui ajalnya ya ? dan kenapa jasadnya sampai disini ? kasihan sekali enggak ada yang mengurusinya. Kemana keluarganya ? Apa dia enggak punya keluarga ? Tampak wajahnya memelas sekali. Bagaimana nasibnya sekarang di alam barzakh ya ? Apakah dia tahu kalau sekarang tubuhnya sedang diotak-atik anak-anak kedokteran ? Apakah dia tahu kalau kelak dagingnya diiris-iris, otaknya akan diambil, isi perutnya pun akan diobrak-abrik, hingga nanti tinggal tulang-tulangnya saja ? Dan apakah dia rela tubuhnya dijadikan kadaver ? Toh kita dulu enggak minta izin sama dia. Ah..kalau enggak begitu darimana kita belajar anatomi ? Segala macam pertanyaan bergelayut di benakku.
Betapa kejamnya kita memperlakukan mayat seperti itu. Kulihat anak-anak masih tetap heboh di sekeliling tubuh wanita muda tak berdaya itu. Bahkan ada yang sesekali bercanda dan tertawa-tawa. Tak ada yang berpikir bagaimana nasib wanita itu di alam barzakh sekarang. Apakah dia mandapatkan siksa apa tidak. Ah, mereka tak akan sempat memikirkan itu, mereka sibuk menghapal nama-nama syaraf. Tetapi betapa kejamnya kita, di sisi orang meninggal tega juga tertawa-tawa. Aku juga menyadari kalau enggak malas seperti itu kadang aku juga bercanda seperti mereka.

Kualihkan pandanganku pada kelompok lain. Disana juga ada mayat, tetapi mayat seorang laki-laki tua. Bahkan katanya mayat itu mayat baru, yang beberapa bulan meninggal.

Kulihat betapa mayat-mayat itu sudah tak berdaya. Dan mayat wanita muda di depanku pun bernasib sama. Tak bisa apa-apa. Dia telah mati. Ruhnya sudah kembali kepada Tuhannya. Jasadnya tak dibawanya juga. Hartanya tak dibawanya. Bahkan kecantikan tak dibawanya juga. Dan dia tak mampu apa-apa ketika pisau-pisau bedah itu mengiris-irisnya. Dia tak mampu protes tubuhnya dijadikan kadaver.

Tiba-tiba saja aku teringat akan kematian yang tak diketahui datangnya. Entah tua atau muda, sakit atau tidak, kematian datang begitu saja. Dan dengan begitu saja dunia yang indah ditinggalkan, tanpa membawa apa-apa. Tiba-tiba saja aku teringat akan hidupku selama ini. Apa yang bisa kubawa selama ini ? Terbayang dosa-dosaku selama ini, yang jarang bersyukur, jadi orang pemalas, suka sholat molor, dan lain-lain.

Ah, hari itu ternyata aku mendapat banyak pelajaran. Aku telah mendapat ilmu dari wanita muda berkoyo itu. Terima kasih ya Rabbi. Engkau mengingatkan aku untuk selalu mengingatMu dan untuk selalu dekat denganMu agar aku juga dekat denganMu di akhirat nanti.
(Sebuah catatan Mahasiswa Kedokteran)

Sumber : Majalah Annida N0.5 Th. VII 1997 (Dari rubrik Yang Jadi Kenangan Oleh Afiana Rohmani)

3 komentar:

  1. salam mbak Afaf Faradilla
    iseng-iseng berselancar di dunia maya, tak sengaja membuka blog ini. Subhanallah teringat cerita 14thn yg lalu. Ya mbak ini adalah cerita saya waktu masih kuliah. Terima kasih sdh mengupload cerita ini. Smg bermanfaat.
    Salam kenal dari saya. Wassalam.
    Afiana Rohmani

    BalasHapus
  2. sungguh bermanfaat.
    artikel ini mengingatkan kita akan hidup yang tak lama ini..

    BalasHapus
  3. Haloo gua dr tahun 2018, artikelnya sumber dari rubrik majalah tahun 1997. Trus gua pikir2 kejadian ini udah lama bgt berlalu entah gmn rasanya jaman dulu kuliah di kedokteran. Harga kadaver juga 6-8 jt. Skrng mah udah berapa tau, kalo misalkan tahun 1997 6-8 jt nah di tahun 2018 ini bandingin aja lah pasyi mahal. Lucu aja ternyata ada artikel ini dan gua baru baca sknrg. Penasaran yg nulis artikel ini msh baca komen gua ga ya. Kalo baca bls lah hehe
    Intinya wow bgt artikel nya

    BalasHapus