Minggu, 14 November 2010

Cinta Di Atas Cinta


Perempuan oh perempuan ! Pengalaman batin para pahlawan dengan mereka ternyata jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan. Apa yang terjadi, misalnya, jika kenangan cinta hadir kembali di jalan pertaubatan seorang pahlawan ? keagungan !

Itulah, misalnya, pengalaman batin Umar Bin Abdul Aziz. Sebenarnya Umar seorang ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia besar di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.

Tapi begitu ia menjadi Khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh mendadak pada detik inagurasinya. Ia pun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan merubah Dinasti Umayyah. “Aku takut pada neraka”, katanya menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama terbesar zamannya, pionir kodifikasi hadist, yang duduk di sampingnya, Al-Zuhri.

Ia mulai perubahan besar itu dari dalam dirinya sendiri, isteri, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras itu akhirnya membuahkan hasil. Walaupun hanya memerintah dalam waktu 2 tahun 5 bulan, tapi ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa’ Rasyidin. Maka ia pun digelari Khalifah Rasyidin kelima.

Tapi itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok. Saat itulah isterinya datang membawa kejutan besar, menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya. Ironis, karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga sebaliknya. Tapi isterinya Fatimah, tidak pernah mengizinkannya atas nama cinta dan cemburu. Sekarang, justru sang isterilah yang membawanya sebagai hadiah. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.

Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu biru. Kenangan romantika sebelum saat perubahan, bangkit kembali dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi saat cinta ini hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai. Cinta dan cita bertemu atau bertarung, disini, di pelataran hati sang Khalifah, sang pembaharu.

Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu ? Tidak ada ! tapi, “Tidak ! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus kembali ke dunia perasaan semacam ini” kata Umar. Cinta yang terbelah dan tersublimasi diantara kesadaran psiko-spiritual, berujung dengan keagungan. Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta ! Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.

Tidak ada cinta yang mati disini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya dengan sendu, “Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang ?”.Umar bergetar haru, tapi kemudian ia menjawab, “Cinta itu masih ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam”.

Sumber : Anis Matta Lc (Majalah Tarbawi Edisi 55 Th. 4 20 Maret 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar