Sepeninggal istrinya, Khadijah, Rasulullah SAW dirundung duka yang amat dalam. Tiga tahun lamanya, hari-hari dilalui Nabi dengan hidup menduda. Sampai datanglah seorang wanita bernama Khaulah Binti Hakim Assalamiyah menemui beliau.
“Bagaimana pendapat engkau, wahai Rasulullah, jika engkau saya sarankan menikah lagi ?” kata Khaulah memberanikan diri.
Mendengar itu, tentu saja Nabi terkejut. “Siapa yang sanggup menggantikan Khadijah ?” gumamnya. “Putri Abu Bakar, Aisyah..” jawab Khaulah. “Kuakui Aisyah memang cantik dan lincah. Ia juga putri orang yang kupercaya. Tapi yang kubutuhkan bukan cuma seorang istri, melainkan Ibu untuk anak-anakku. Padahal Aisyah masih terlalu muda”.
“Justru itu lebih baik bagi engkau dan baginya, wahai kekasih Allah” tukas Khaulah. “Untuk membuat ukiran yang indah, dibutuhkan kayu yang lunak dan pahat yang tajam. Aisyah ibarat bahan ukiran yang bagus, karena masih muda, sehingga gampang dibentuk. Sedangkan engkau adalah pahat yang tajam. Bagaimana bisa engkau mendidiknya jika ia tidak kau jadikan seorang istri ?”
Nabi tercenung. Dengan bimbang beliau berkata “Aku tidak sampai hati memperlakukannya sebagai seorang istri”. “Tapi beberapa tahun lagi ia sudah matang dan siap melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri” kata Khaulah. “Tapi itu masih lama, Khaulah. Sementara itu, siapa yang mengurus anak-anakku ?”
Khaulah tersenyum lebar. Ia sudah merencanakan sesuatu yang rasanya tidak akan ditolak Nabi. Ia yakin, Nabi bukan lelaki pemuja kecantikan, melainkan pendamba kesucian dan ketulusan. Penghormatan dan penghargaannya kepada wanita tidak memandang usia. Karena itu Khaulah berkata “Untuk menunggu Aisyah dewasa dan menjadi istri yang sempurna, bagaimana kalau Rasulullah menikahi Saudah Binti Zum’ah Al-Amariyah ?”
Rasulullah tertegun. Ia teringat akan pengorbanan Saudah selama menjadi istri As-Sakran Bin Amru Al-Amiri, salah seorang yang hijrah ke habsyah. Di negeri itu, As-Sakran ternyata murtad dan memeluk Nasrani. Saudah pun menuntut cerai. Bisa dibayangkan, betapa menderitanya Saudah hidup di negeri asing tanpa pendamping. Dan ketika wanita-wanita lain kembali ke Madinah dengan suami mereka, Saudah harus berjalan sendirian. Alangkah panjang malam-malam yang harus dilalui Saudah, sebagai janda yang miskin.
Berpikir sejauh itu, Rasulullah berkata “Baiklah, Khaulah. Pinangkan Saudah dan Aisyah untukku”.
Khaulah segera berangkat ke rumah Abu Bakar untuk menyampaikan lamaran Nabi. Sesudah itu, tanpa menunggu kegirangan Abu Bakar habis begitu mendengar berita itu, Khaulah melanjutkan perjalanannya ke rumah Zum’ah, Ayah Saudah. Orang tua itu tentu saja tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Ia yang tadinya selalu murung melihat nasib anaknya, tiba-tiba bagaikan menjadi lebih muda sepuluh tahun dari usianya.
Kaum musyrikin dan orang-orang Yahudi tertawa mengejek begitu mendengar Nabi akan menikahi Saudah. “Muhammad menikahi Saudah, perempuan yang tidak masuk hitungan itu ? kalau saja ia mau menghentikan dakwah Islam, tentu akan kita sediakan gadis-gadis cantik untuknya”.
Tentu saja mereka tidak memahami cara berpikir Rasul yang bersih dari hawa nafsu. Bagi mereka, kaum wanita adalah tempat pelampiasan syahwat. Sedangkan Nabi sangat menghormati kaum wanita. Beliau pernah bersabda, “tidaklah bisa menghargai wanita, kecuali orang yang mulia. Dan tidaklah akan menghinanya, kecuali orang yang hina”.
Sumber : Majalah Sabili No.19 Th. 7 (1999)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar