Minggu, 17 Oktober 2010

Namanya Melissa



Namanya Melissa. Hanya itu, tak ada yang tahu apakah itu nama aslinya atau nama karangan belaka. Tak ada yang tahu apa nama panjangnya. Bukan asli penduduk Jakarta.

Konon kabarnya, ia berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Sebenarnya ia wanita yang biasa-biasa saja. Kehidupan sosialnya, perekonomiannya, pergaulan kesehariannya, pendidikannya, hobinya, malah nyaris membosankan. Mungkin yang sering dibicarakan adalah bahwa ia sedikit lebih cantik dan lebih santun daripada rekan-rekan sekerjanya. Selebihnya, sangat biasa-biasa saja. Tetapi kini ia membuat heboh baik teman-teman sekerjanya maupun para pelanggannya : Ia mengenakan Jilbab !

Bukan apa-apa, sebab lingkungan kerjanya, di “Raja Bilyard”, seorang pekerja wanita seakan  sudah menjadi mitos bahwa mereka haruslah berlaku seperti layaknya “wanita penghibur”. Padahal mereka jelas lebih terhormat dari “Wanita penghibur”, bahkan walaupun ia “wanita penghibur” sekalipun, ia harus dihargai sebagai manusia yang punya hak untuk menerima dakwah dan hidayah Tuhan. Tugas para pekerja wanita itu hanyalah mencatat skor, menata bola bilyar, melayani segala keperluan pelanggan seperti minum dan sebagainya. Hanya itu. Tetapi seakan sudah ada imej dalam diri masyarakat bahwa mereka bukan orang baik-baik. Alasannya cukup kuat : mereka bekerja hingga larut malam, disana tersedia minuman keras, kerja di tengah lautan kepulan asap rokok, mereka melayani pria-pria kasar yang tidak jelas juntrungannya dan terkadang tidak sopan, terkadang canda-tawa mereka berlebihan dan terkesan centil dan semacam itu. Itulah yang ada di kepala hampir setiap warga baik-baik di lingkungan sekitar tempat bilyar itu dan pekerja wanitanya. Dan tiba-tiba Melissa memakai Jilbab. Ah.. alangkah anggunnya kulihat dari kejauhan.

Melissa namanya, konon kabarnya, nama aslinya Jamilatun. Usianya nyaris dua puluh tiga. Ia janda dengan dua anak, entah dimana anak-anaknya itu berada kini. Mungkin di desanya bersama kedua orang tuanya. Tak jelas juga bagaimana ia dengan suaminya dulu bercerai. Tak jelas pula bagaimana ia bisa terdampar di rimba ibukota. Dan ia kini mulai mengenakan Jilbabnya. Jika aku saja, yang sejak dua tahun yang lalu tak pernah menginjakkan kaki di tempat itu dan kini dijuluki Ustadz Kampus, kaget melihat perubahan itu, bagaimana dengan bosnya, rekan sekerjanya, para pelanggannya, dan orang-orang sekitarnya ? Dan janganlah anda kira begitu mudah memutuskan penjilbaban ini. Wuih.. amat sangat sulitnya. Aku tahu, sebab ia sempat bertanya tentang pendapatku mengenai hal ini. Waktu itu kusarankan, jika ingin berjilbab harus cari lingkungan kerja yang mendukung, yang berarti harus mencari pekerjaan baru. Bukan apa-apa, aku tak ingin ada fitnah tentang makna Jilbab di kalangan umum. Tapi sayang aku tak sanggup membantunya lebih dalam lagi, mencarikan pekerjaan baru, misalnya. Aku terlampau disibukkan oleh pekerjaan yang biasa kusebut kerja Dakwah. Tapi aku sendiri malu sebab dakwahku terhadap Melissa tak mampu kupenuhi secara total.

Masih segar dalam ingatanku, bagaimana carut-marutnya air muka Melissa ketika datang mencurahkan segala permasalahannya ini. Baginya masalah Jilbab amat pelik dan kompleks. Bagaimana ia harus memilih antara berjilbab atau mempertahankan pekerjaannya. Bagaimana ia berjuang mencari rezeki untuk sekedar menghimpun sisa-sisa pengeluarannya untuk dibelikan baju panjang dan Jilbab, dengan konsekuensi menahan lapar di tengah merasuknya rasa dingin angin malam hingga ke tulang sumsum. Bagaimana ia harus memutuskan antara tetap berjilbab dan tetap bekerja disana walaupun belum tentu disetujui bosnya atau tetap berjilbab dan langsung keluar dari pekerjaannya  sembari mencari pekerjaan lain yang mendukungnya, atau sekedar bersabar menahan diri tidak mempermasalahkan Jilbab. Bagaimana ia merasa dicemoohkan oleh seluruh dunia : pelanggan bilyar, rekan sekerja, lingkungan sekitar. “Ah, Melissa munafik, sok alim !” dan berbagai cercaan menimpanya.

Bukan ,ini bukan sembarangan kasus Jilbab. Bukan sekedar di larang dan diperbolehkan. Tetapi masalah nyawa seseorang, kehidupan seseorang yang mungkin dianggap orang lain remeh. Mereka yang tidak boleh bekerja atau bersekolah karena Jilbab mungkin bisa mencari pekerjaan dan sekolah di tempat lain, mereka yang dicemooh mungkin bisa menghibur diri dengan berbagai cara.

Tetapi masalah Melissa adalah masalah kehidupan orang banyak yang bergantung padanya : orang tua, anak-anaknya di desa dan ia sendiri yang sebatang kara di Jakarta tanpa sanak saudara dan handai-taulan. “ Untuk sekedar makan saja susah kok, ini malah nyisain duit buat nutup rambutnya yang bagus itu, pegimane ceritanya…” celetukan Bang Ali, satpam pasar Swalayan dekat sana. Dan ia merasa bahwa yang mendukungnya amat langka. Tak ada remaja Masjid, tempat ia biasa Sholat jamaah Subuh disana, yang peduli dengannya, kecuali aku dan Mbak Yunita, guru TPA setempat.

Bahkan teman sekostnya pun tidak ambil pusing. Ah, bagi penduduk Jakarta, yang penting ia selamat. Ah, rupanya sikap Individualisme, nafsi-nafsi begitu merasuki jiwa-jiwa kita.

Namanya Melissa, konon berasal dari Lamongan. Usianya nyaris dua puluh tiga tahun. Tak ada yang mau tahu nama panjang atau nama aslinya. Tapi konon nama aslinya Jamilatun. Agamanya jelas Islam, dan ia sekarang mulai mengenakan Jilbab. Dan nada-nada nyinyir dan minor mulai menerpanya. Isu-isu bertebaran dengan cepatnya, menyeruak kepingan-kepingan chuck, menerobos gagang Bilyar dan menghantui setiap bola nomor lima. Segala pandangan mata adalah teror bagi Melissa, sejak saat itu.

Tak mudah bagi Melissa untuk memutuskan sebuah ketetapan. Jika ia tetap bertahan dengan Jilbabnya dan meninggalkan pekerjaannya detik itu juga, sama dengan bunuh diri. Sebab mencari lowongan pekerjaan teramat susahnya jaman sekarang, bagaimana ia bisa untuk sekedar bertahan hidup ? jika ia tetap bekerja disana sambil berjilbab dan sambil menunggu jawaban lamaran pekerjaan, maka akan didera seribu topan badai cemoohan dan ejekan, disamping itu akan membawa citra buruk Jilbaber dan ia tak mau menjadi sumber fitnah. Dan belum tentu bosnya bisa menerima realitas bahwa salah satu pegawainya memakai Jilbab. Ia tadinya ingin menunda pemakaian Jilbabnya, sampai ada kabar ia diterima di tempat kerja lain dan menjamin kebebasan Jilbabnya, tetapi sampai kapan ia menunggu ? Sementara ia selalu dingiangi bisikan-bisikan tentang buruknya su’ul khotimah, selain gelayutan rasa penuh dosa di masa-masa silamnyayang mendesak-desak keinginannya untuk memakai Jilbab secepatnya.

Sebenarnya ada tawaran bekerja di TPA, tetapi entah mengapa di tolaknya. Tidak sreg karena ilmu agamanya ditolaknya. Tidak sreg karena ilmu agamanya belum matang, sebab ia sendiri baru saja belajar Islam begitu alasannya. Lagi pula apa kata dunia, sebuah institusi pendidikan agama diajar oleh mantan pekerja di tempat bilyar.

Sebenarnya, segalanya bermula dari interaksi Melissa dengan para jamaah Masjid di rumahnya. Ia rajin shalat shubuh di Masjid As-Sakinah itu. Tampaknya ia sadar benar bahwa lingkungannya kerap menimbulkan maksiat dan dosa baginya. Dari sanalah aku tetap akrab dengannya, walaupun aku tak pernah lagi ke tempat kerjanya itu. Dari sana pula kukenalkan ia dengan semua pengurus Masjid, Ustadzah dan para akhwat yang menjadi guru TPA. Ia pernah magang menjadi guru TPA di hari Ahad, tetapi waktunya tersita ditempat bilyar itu. Lagipula munculnya berbagai isu yang memperjelek citra TPA itu sehubungan dengan kehadirannya membuatnya ingin cepat-cepat berhenti dari sana.

Namanya Melissa. Sudah sering kusebut bukan ? aku mengenalnya sudah lama. Mulai dari masa SMA, ketika aku kerap bermain bilyar di tempatnya bekerja hingga kini mahasiswa skripsi yang dijuluki ustadz kampus. Tiga tahun aku berlangganan bermain bilyar untuk melepas lelah di tempat itu membuatku sempat akrab dengan Melissa. Selain itu ia yang paling cantik, Melissa kulihat adalah orang yang paling tidak banyak tingkah. Dalam arti lain, ia paling mengenal sopan santun dan mengerti norma-norma. Ah, ia memang sudah Hanif sejak dulu. Pendiam, tidak banyak tingkah, tidak seperti rekan-rekannya yang…wah bagaimana caranya kuceritakan ya..sebab sudah dua tahun aku tak pernah mampir lagi disana, sejak tugas kuliah dan dakwah bertumpuk bertubi-tubi. Sejak aku tak ingin membuang waktu untuk hal-hal yang kurasa tidak produktif, kurang nilai manfaatnya.

Memang nyaris tak ada yang bisa diperbincangkan dari Melissa. Ia seakan-akan hanyalah setitik debu yang layak untuk diluputkan dari pandangan manusia pada umumnya.

Bagi kebanyakkan orang, ia dan yang sejenisnya ibarat sampah masyarakat. Nyaris tak ada yang peduli dengannya, dengan keimanannya, dengan perjuangannya bertahan hidup, dengan pergumulannya dengan nasib buruk, dengan pergolakan-pergolakan pemikiran, nurani hati dan ruhani dengan pengorbanannya menghidupi anak dan orang tua di desa. Ia luput dari bidikan dakwah di kampusku : yang biasanya berkutat masalah intern seperti perbedaan pendapat, halal-haram atau paling tinggi cara bagaimana mendakwahi mahasiswa lewat berbagai kepanitiaan, seminar, pentas seni, diskusi dan sebagainya, dan tersisihkan dari bahan pembicaraan kami, padahal letak kerjanya amat dekat dengan kampusku. Tapi aku tak mau menjadi orang-orang kebanyakkan. Aku sudah bertekad, Aku akan melamarnya… 

Cerpen Karya : Ekky Al Malaky (Disadur dari Kumpulan Cerpen "Dan Malaikat Pun Rukuk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar