Serangan stroke kedua beliau pada tanggal 14 Februari lalu terjadi ketika kami semua sedang akan menyantap makan siang. Adik saya, Ama melihat ada sesuatu pergerakan yang aneh pada Mama. beliau tidak dapat menyuapkan makanan yang ada di sendoknya dan seketika lemas. Untungnya oleh Adik saya dengan sigap menangkap tubuh Mama agar tidak jatuh dari kursi makan. Seketika kami panik, adik ipar bawa Mama ke kamar dan langsung dengan cepat kami keluarkan mobil menuju Rumah Sakit Siti Aisyah, rumah sakit yang jaraknya lumayan jauh dari rumah mengingat Rumah sakit ini adalah Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Pertamina sebagai Rumah Sakit bagi pensiunan dan karyawan di Pertamina pemasaran.
Setelah dibawa ke UGD, kondisi Mama stabil dan bicaranya mulai pelo atau kesulitan berbicara.
Setelah mendapat pertolongan pertama, Mama dipindah ke syal Kelas II karena kondisinya masih baik. Walau demikian, keadaannya juga semakin menurun. Beberapa kali Mama muntah-muntah di Rumah Sakit. Obat-obat dan infus tetap bekerja. Karena kamar Kelas II yang kondisinya memprihatinkan kami meminta agar Mama dipindah ke Paviliun yang lebih baik kondisinya. Alhamdulillah, beliau di pindahkan kesana. Untuk sementara waktu kami merasa tenang, walau kondisi Mama menjadi apatis (seperti tak mengenal kami), dan sedikit gelisah. Tapi pada tanggal 18 februari malam, 4 hari setelah serangan kedua, Mama mendapat serangan stroke yang ketiga. Beliau muntah-muntah lagi dan kehilangan kesadaran. Akhirnya, Mama dibawa ke ruangan ICU. Diruangan ICU kondisi mama Somnolent (sering tertidur), detak jantung cepat, tekanan darah naik-turun tidak stabil, dan demam tinggi sehingga dokter yang menangani kami, seorang dokter penyakit dalam yang berpengalaman di Kota Lubuklinggau menyatakan Mama berada dalam kondisi yang kritis.
4 hari setelah itu, dokter menyatakan masa kritis Mama sudah lewat tapi keadaan tubuh sangat lemah dan berat. Dokter menyarankan Mama dibawa ke Palembang setelah masa kritis lewat. Dengan harapan di Palembang Mama bisa dipertemukan dengan dokter neurolog (dokter spesialis syaraf) untuk proses penyembuhan selanjutnya. Di Lubuklinggau belum ada dokter spesialis syaraf. kebetulan keluarga besar kami sudah berkumpul pada saat itu, kami berembuk bagaimana baiknya bagi Mama. Setelah berembuk yang pertama, banyak anggota keluarga yang keberatan. Takut terjadi apa-apa selama di perjalanan menuju Palembang, karena bisa dibilang jarak Lubuklinggau-Palembang cukup jauh, sekitar 8-9 jam. Tapi 2 hari kemudian Papa memutuskan untuk membawa Mama ke Palembang dengan resiko apapun. Beliau memutuskan hal ini setelah mendapat petunjuk bahwa Ibunda kami harus dibawa ke Palembang. Karena Papa adalah suaminya, maka kami tak bisa menolak dan dihati kecil kami sebenarnya memang ingin membawa Mama ke Palembang tapi selalu terkendala keraguan. Dengan mengucap Bismillah akhirnya keputusan sudah final. Kami harus bawa Mama ke Palembang besoknya.
Kami memesan Ambulance kepada pihah Rumah Sakit Siti Aisyah, lengkap dengan peralatan penunjang selama di perjalanan, seperti tensimeter digital, alat pengukur temperatur digital, infus serta obat-obatan, tapi minus tabung oksigen. Biaya yang harus dikeluarkan saat itu sekitar Rp. 3.700.000, sudah termasuk biaya perawat dan uang jalan Ambulance tadi. Dengan mengucap Bismillah Ambulance akhirnya berangkat beserta kami dengan mobil pribadi mengiring di belakang tepat pukul 10 pagi. Diputuskan kami melewati rute Lahat yang jaraknya lebih jauh dari rute Sekayu karena kondisi jalan rute Lahat lebih mulus daripada rute Sekayu yang rusak parah. Itu semua untuk menimalisir goncangan selama di perjalanan. Sepanjang jalan saya berzikir "Allahumma Yassir Walatu'asyyir", Ya Allah permudahkanlah...Alhamdulillah kami sampai dengan selamat pada pukul 7 malam.
Di teras Ruang Tunggu ICU RS Pertamina Plaju, Palembang. Dikejauhan tampak Paviliun Kenanga |
Mama langsung dibawa ke UGD Rumah Sakit Pertamina Plaju dengan membawa surat rujukan dari Pertamina Pemasaran di Lubuklinggau. Tak lama di UGD, Mama ditempatkan di ICU. Selama di ICU, peraturan cukup ketat. pasien hanya boleh mengunjungi satu orang, dan harus masuk menggunakan Schort. Jika tidak menggunakan Schort kami bisa diusir keluar. Keluarga yang menunggu disediakan kamar kecil untuk menunggu pasien. Dengan demikian, ruang tunggu itu jadilah rumah kedua bagi kami. Sehari-hari kami tidur, ngobrol, makan dan aktivitas lainnya di ruang tunggu ini. Toilet yang luas bak kamar mandi terletak tidak jauh dari ruang tunggu. Kami mandi disitu. Alhamdulillah, ini Pertamina, semua bersih dan rapi sehingga kami merasa seperti sedang di rumah sendiri. Disitu juga tinggal beberapa keluarga pasien ICU lainnya, sehingga terjalin hubungan yang akrab dan persaudaraan antara kami dengan mereka. Kebanyakkan pasien di ICU adalah pensiunan yang sudah berusia lanjut. Macam-macam penyakit yang mereka derita dari Asma, Jantung, Kanker hingga Stroke seperti yang diderita Mama saya. ICU adalah ruang penentuan. Ibarat sebuah gedung mahkamah, disini nyawa manusia disidang dan diputuskan apakah keluar dengan sehat ? atau keluar dengan keadaan meninggal dunia. Selama 2 minggu Mama di ICU sudah beberapa pasien lansia yang meninggal dunia. Kami cukup was-was. Berharap Mama kondisinya makin bagus dan bisa dipindah ke Syal.
Alhamdulillah..tepat 2 minggu, Dokter spesialis penyakit dalam RS Pertamina Plaju, Dokter Edy menyatakan kondisi Mama sudah bagus, dan bisa dipindahkan ke syal. Di syal adalah masa-masa pemulihan Mama meski demikian alat bantu seperti kateter, oksigen dan selang NGT untuk makan masih terpasang karena Mama belum bisa bangun atau duduk, masih tak sadar penuh, tak bisa bicara (Afasia) dan fungsi menelannya terganggu. Tercatat selama di ICU dan di Syal Mama di Fisioterapi fisik oleh seorang terapis yang masih muda. Kaki dan tangan Mama di gerak-gerakkan, agar ototnya tidak kaku dan memendek. Meski sudah dipindah ke Syal, perawatan intensif masih berlanjut. Kami memilih Paviliun VIP Kenanga agar Mama memperoleh perawatan yang terbaik. Seharusnya sebagai istri pensiunan golongan 7, Mama di tempatkan di Kamar Cempaka kelas II. Tapi kami memilih untuk menambah biaya kamar di VIP kenanga sebesar Rp.150.000. Perhitungannya, Ruang Cempaka kelas II khusus pensiunan itu biayanya Rp.200.000 tapi bagi pensiunan Pertamina,di Ruang Cempaka semua gratis tanpa dipungut biaya karena ditanggung oleh perusahaan (Pertamina). Karena biaya VIP kenanga per hari sekitar Rp.350.000, artinya kami hanya menambah Rp.150.000 saja. Sementara Rp.200.000-nya ditanggung perusahaan sesuai dengan harga kamar di ruang Cempaka (khusus pensiunan).
Selama di rawat di Ruang Kenanga No.4, kondisi Mama berangsur membaik. Fungsi pencernaannya sudah baik, dan Mama sering terjaga (melek) daripada tidur dari yang tadinya sering tidur daripada meleknya. Meski beliau agak sulit mengenali kami sebelumnya. Tapi kedekatan selama menjaga 2 minggu kami yakini membuat ingatan Mama dengan kami juga mengalami kemajuan. Dengan penuh telaten adik ipar saya turut memberikan terapis seperti yang dianjarkan ahli terapis. Kami belajar memandikan Mama, membuang kotorannya, Mengganti seprai dan Memberikan makan melalui selang NGT, hingga memiringkan tubuhnya ke kiri dan kanan agar kulit badannya tak terkena luka dekubitus akibat berbaring cukup lama. Kami anak-anak dan menantunya akhirnya menjadi perawat dadakan. Dan bersyukur kami mendapat pengalaman merawat Mama yang InsyaAllah kami ikhlas melakukakannya sebagaimana dulu Mama ikhlas merawat kami ketika kami masih bayi. Kami hanya meminta Ridho dari Allah SWT sembari terus berusaha dan berdoa di samping beliau dan diwaktu-waktu sholat kami. Mendekati 2 minggu perawatan di syal, Dokter Neurolog, Dokter penyakit dalam dan dokter RS Pertamina Plaju memutuskan Mama bisa dibawa pulang dengan perawatan jalan (home care) yang ketat. Tapi kami belum puas, kami khawatir kalau Mama dibawa pulang, kondisinya akan drop lagi. Apalagi jarak pulang ke Lubuklinggau itu sangat jauh. Sementara di Palembang kami tak punya tempat domisili yang terdekat dengan Rumah Sakit Pertamina Plaju plus yang menjaga beliau. Kami putuskan untuk meminta rawatan selanjutnya ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) di Jakarta. Kami ingin agar Mama di MRI, Supaya kami bisa tau apa penyebab Stroke pada Mama, walau selama di Palembang Mama sudah di CT-Scan di Rumah Sakit Charitas mengingat Rumah Sakit Pertamina Plaju belum memiliki fasilitas CT-Scan. Dengan tekad yang bulat, akhirnya kami meminta izin pihak pemasaran supaya mereka bisa memberikan surat rujukan ke RSPP Jakarta. Kami juga melakukan konsul dengan para dokter di RS Pertamina Plaju. Pihak pemasaran bisa merujuk Mama ke RSPP Jakarta dengan rekomendasi dokter yang merawat Mama. Para dokter yang tadinya sedikit khawatir mengingat kondisi Mama yang terbaring untuk dibawa ke tempat yang jauh seperti Jakarta, akhirnya memutuskan menyetujui setelah melihat kebulatan tekad kami. Surat itu akhirnya dikeluarkan oleh pihak pemasaran, semua biaya obat-obatan ditanggung oleh Pertamina ketika proses pemindahan pasien dilakukan, tapi pihak Pertamina tidak menanggung biaya transportasi dan akomodasinya.
Selanjutnya, Adik ipar saya mengurus biaya transportasi untuk membawa Mama ke Jakarta. Tentunya kami memilih perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang. tadinya kami ingin memilih maskapai penerbangan Garuda Indonesia, tapi atas saran dokter dan perawat yang dulu pernah merujuk pasien ke Jakarta, maka kami tidak jadi menggunakan jasa Garuda dengan pertimbangan cukup rumit prosedur membawa orang yang sakit di pesawat. Kami akhirnya memilih maskapai Sriwjaya Air dengan pertimbangan prosedurnya tak terlalu rumit. Kami hanya diberikan form yang harus diisi oleh dokter dan tanda tangan persetujuan lalu memberikan form yang sudah diisi tadi kepada pihak Sriwijaya Air agar dapat disetujui oleh supervisornya. Setelah disetujui oleh pihak Sriwijaya Air, proses selanjutnya adalah membayar biaya pesawat. Untuk pasien dalam keadaan terbaring maka diharuskan memesan 12 seat (tempat duduk), dengan rincian per 1 seatnya adalah Rp.800.000. Artinya sekitar Rp 9 juta lebih untuk pasien saja. Sementara bagi keluarga yang ikut mengantar dikenakan biaya normal seperti penumpang lainnya. Sama seperti proses pemindahan dari Lubuklinggau ke Palembang, kali ini kami meminta seorang perawat dari RS Pertamina Plaju untuk ikut mengantar hingga ke RSPP Jakarta. Akomodasi perawat ini, baik tiket PP maupun tempat tinggalnya juga ditanggung oleh kami sebagai pihak keluarga pasien. Sriwijaya Air juga menawarkan tabung oksigen bagi Mama selama di perjalanan, per tabungnya Rp.300.000. Kami memilih agar Mama tetap terpasang oksigen. Kami bayar juga uang tabung oksigen tadi. Akhirnya, dengan izin Allah hari Kamis tanggal 27 Maret, pesawat berangkat menuju Cengkareng, Jakarta dari Bandara Sultan mahmud Badaruddin II Palembang. Pesawat berangkat tepat pukul 11.00 siang. Dengan diiringi air mata dan doa serta harapan saya dan adik yang hanya mengantar hingga bandara, menyaksikan pesawat take-off dari ruang khusus pengantar. Ikut mengantar Mama ke Jakarta waktu itu, Kakak perempuan saya yang juga berprofesi dokter beserta suami serta 3 anaknya, adik ipar saya (suami dari adik saya) serta seorang perawat ICU yang menemani, yang kami panggil Mbak Sri.
Mengantar Mama di ruang pengantar Bandara SMB II Palembang |
Akhirnya, Mama dan rombongan sampai di Jakarta dengan selamat dan kondisi Mama juga stabil. Selama di RSPP Jakarta Mama ditempatkan di Ruang Bontang, Lantai 3 kamar No. 353. Disamping Mama juga terbaring pasien stroke. Kamar ini merupakan kamar kelas II di RSPP. Di dalamnya terpasang alat2 kesehatan yang sentralistik. Sebuah AC, televisi dan 2 tempat tidur pasien. Sehari setelah Mama sampai di RSPP, keesokan harinya Dokter Neurolog memutuskan agar Mama di MRI. Mama di MRI tepat pukul 7 Malam. Tapi hasil MRI bisa diketahui besoknya. keesokan harinya, hasil MRI diketahui. Mama mengalami infark (sumbatan) yang cukup luas, dan juga menderita sinusitis (infeksi pernafasan bagian atas). Penyebab Stroke Mama kemungkinan adalah kadar Hb (Hemoglobin) yang rendah dalam darah., yang mengakibatkan terjadinya pengentalan darah. Darah yang kental ini akan menyumbat pembuluh darah di otak. Hasil pemeriksaaan jantungnya bagus, begitu pula kadar kolesterolnya juga normal. Kadar Hb Mama cuma 7,8 mg. Padahal untuk lansia seperti Mama kadar yang normal adalah 11-13 mg. Dokter memutuskan agar Mama diberikan transfusi darah supaya Hb beliau bisa mencapai keadaan normal.
(bersambung...)