KITA BUKAN BANGSA DENGAN
BUDAYA YANG SAMA
Saya percaya, faktor
utama yang membentuk berdirinya Republik Indonesia,17 Agustus 1945 yang
lalu, bukanlah kesamaan budaya, bahasa, maupun agama. Kalaulah memang
budaya dan bahasa yang menjadi landasan utama,tentu saja Sumatera atau
mungkin Kalimantan akan bergabung dengan Malaysia atau Singapura,
bukan dengan Indonesia. Papua seharusnya bergabung dengan PNG (Papua
New Guinea). Sebagai perbandingan, budaya dan bahasa negara-negara di
Eropa pada dasarnya tidak banyak berbeda. Budaya serta bahasa Belgia
dan Belanda atau Jerman dan Austria, misalnya, barangkali lebih
memiliki kemiripan dibandingkan dengan budaya serta bahasa Melayu dan
Jawa. Agama juga bukanlah faktor yang menginspirasi
terbentuknya Republik Indonesia. Jika ternyata Islam adalah
dipeluk oleh hampir 90% penduduk Indonesia, hanya menjadi faktor
yang selanjutnya dimanfaatkan saja (secara positif maupun negatif).
Lalu, apa sebetulnya yang
melandasi terbentuknya Republik Indonesia? Belanda! Belanda-lah yang
membentuk Republik Indonesia, yang menyatukan Indonesia sekarang
dalam satu kesatuan administratif. Dan yang lebih
penting, Belandalah yang
membentuk rasa kebersatuan diantara tokoh-tokoh Indonesia pada saat itu,
dengan melakukan penindasan dan pemerasan terhadap segenap rakyat
Indonesia. Jadi, KESAMAAN NASIB (buruk) lah yang menjadi faktor utama
memicu rasa perjuangan bersama tersebut, disamping - ternyata -
rakyat Indonesia memiliki kemiripan budaya dalam tingkatan- tingkatan
tertentu.
KETIDAKADILAN DAN KETERTINDASAN PENYEBAB SEPARATISME
Sejak tegaknya RI, memang
tidak pernah berhenti dari berbagai permasalahan yang terus
menghimpit, termasuk persoalan 'separatisme': keinginan untuk
memisahkan diri dari RI. Gejala pemisahan diri sedikit mereda pada
era orde baru, karena tekanan yang sangat represif dari pemerintah
yang dikuasai militer, serta pembentukan opini dan
pembodohan informasi melalui kontrol yang sangat ketat pada
semua lini informasi. Namun, beberapa daerah terus bergolak, terutama
Aceh dan Timor-Timur, yang berujung dengan merdekanya Timor Timur
begitu pemerintahan orde
baru berakhir.
Apa yang melandasi
pemisahan daerah-daerah di Indonesia? Secara sederhana hanya ada 2
hal : KETIDAKADILAN dan KETERTINDASAN. Pemimpin-pemimpin negeri ini
memang pandir tolol karena telah MERUSAK LANDASAN UTAMA TERBENTUKNYA
NEGARA INI! Apa itu? Kesamaan Nasib! Pemimpin-pemimpin negara ini,
karena kerakusannya, kesewenang-wenangannya, serta rasa
primordialisme picik (yang tidak pernah diakui!) telah memperlakukan
rakyat-rakyat di seluruh negeri ini secara tidak adil! Dan tidak itu,
saja mereka juga melakukan penindasan-penindasan! Tingkah laku- yang
berjalan HAMPIR SEPANJANG REPUBLIK INI BERDIRI nampaknya tidak dapat
ditolerir lagi!
Kerakusan dan ketamakan
pemimpin-pemimin Indonesia, secara umum telah memperlakukan KETIDAK
ADILAN terhadap SELURUH penduduk Indonesia. Namun perilaku
PRIMORDIALISME pemimpin-pemimpin yang didominasi oleh ETNIS JAWA,
tidak bisa dipungkiri telah menempatkan daerah-daerah luar Jawa sebagai
OBJEK PEMERASAN! Ketidakadilan yang menimpa luar Jawa tidak hanya
karena unsur ketamakan tetapi juga perilaku pemimpin dari etnis Jawa
yang primordialis, yang memeras sumber daya luar Jawa
untuk kepentingan Jawa, dengan dalih KEADILAN BAGI SEGENAP RAKYAT DAN
WILAYAH INDONESIA. Sementara pemimpin-pemimpin luar Jawa, yang
bercokol tidak bisa berbuat banyak, karena :
* TAKUT !
* Ikut MENIKMATI
KEKUASAAN,
* terbodohi oleh dalih
keadilan bagi segenap rakyat dan wilayah Indonesia.
Bagaimana ceritanya
Sumatera yang dulu lebih maju secara ekonomis dari Jawa sekarang bisa
tertinggal? Bagaimana ceritanya kualitas sumber daya manusia
Sumatera, yang dari Jaman pra Belanda hingga zaman pergerakan di atas
kualitas manusia Jawa - setidak-tidaknya dari tingkat
pendidikan, sekarang bisa tertinggal? Apakah benar karena orang-orang
Jawa lebih cerdas? Dan Bangsa Sumatera lebih bodoh? Tidakkah
kita perhatikan bahwa sebagian besar tokoh perintis di bidang
politik, sastra, budaya, agama, jurnalistik pada jaman pergerakan
baik secara absolut -- apalagi secara persentase -- berasal dari
Pulau Sumatra?
Masih ingat dari mana
Muhammad Hatta, proklamator RI, berasal? Sutan Sjahrir, Muhammad
Yamin, H Agus Salim, M Natsir, Buya Hamka, Tan Malaka, Burhanudin
Harahap, Tengku Moh. Hasan, Idrus, Chairil Anwar,
Djamaludin Adinegoro, Sutan Takdir Alisjhabana, Usmar Ismail,
dan banyak lagi. Hampir semua tokoh perintis RI berasal dari
SUMATRA! Sekarang dimana posisi kita Bangsa Sumatra? Di emperan jalan
berdagang kaki lima? Di jembatan penyeberangan? Di metro-metro mini
berteriak sampai suaramu parau?
Lalu apa penyebab semua
ini? KETIDAKADILAN dan PRIMORDIALISME terselubung, yang tidak pernah
diakui! Secara mencolok ratusan, ribuan, bahkan jutaan pegawai
pemerintahan dan militer, di seluruh pelosok luar Jawa, adalah etnis
Jawa. Ceklah kantor-kantor di propinsi anda masing-masing, pejabat
militer, kepolisian di daerah anda. Alasan asimilasi dan pembauran
antar etnis dimanfaatkan oleh PRIMORDIALISME TERSELUBUNG!(disadari
atau tidak, diakui atau tidak !) Tidakkah sering anda dengar, karena
putra daerah belum siap, maka gubernurnya 'didatangkan' dari Jawa,
penghinaan luar biasa! Sejak kapan orang luar Jawa sebodoh itu? Tidak
mampu memimpin bangsanya sendiri? Sejak Republik Indonesia ditangan
mereka! Kalaulah kita orang luar Jawa, Orang Sumatra bodoh, kenapa
tidak mereka ajari jadi pintar, karena kita bersaudara? Toh kita
punya duit banyak untuk belajar, karena sumber daya alam yang kaya.
Tapi kenyataannya, Jawa dibangun lebih, Sumatra diperas banyak; Etnis
Jawa diberi kekuasaan dan kesempatan, dengan dalih
kebodohan mamusia-manusia luar Jawa.
PENJAJAHAN BUDAYA SANGAT
MENYAKITKAN HATI
Tak bisa dipungkiri memang, selain kesamaan nasib, ada satu budaya yang dapat menjembatani keberagaman budaya nusantara. Setidak-tidaknya oleh bahasa. Jauh sebelum RI ada, bahasa melayu telah dipakai dan diakui sebagai bahasa pengantar Nusantara. Jadi, adalah tidak benar, bahwa dijadikannya bahasa melayu sebagai dasar bahasa nasional adalah karena KEBESARAN JIWA pemimpin-pemimpin etnis jawa sebagai etnis mayoritas. Seperti yang sekarang sering diselipkan dalam pelajaran sekolah. Tidak! Bahasa Melayu menjadi dasar bahasa nasional adalah oleh karena KENYATAAN yang ada, bahwa bahasa inilah yang telah diakui, dipakai, dan diterima oleh seluruh penduduk Nusantara, termasuk oleh penduduk Jawa.
Tak bisa dipungkiri memang, selain kesamaan nasib, ada satu budaya yang dapat menjembatani keberagaman budaya nusantara. Setidak-tidaknya oleh bahasa. Jauh sebelum RI ada, bahasa melayu telah dipakai dan diakui sebagai bahasa pengantar Nusantara. Jadi, adalah tidak benar, bahwa dijadikannya bahasa melayu sebagai dasar bahasa nasional adalah karena KEBESARAN JIWA pemimpin-pemimpin etnis jawa sebagai etnis mayoritas. Seperti yang sekarang sering diselipkan dalam pelajaran sekolah. Tidak! Bahasa Melayu menjadi dasar bahasa nasional adalah oleh karena KENYATAAN yang ada, bahwa bahasa inilah yang telah diakui, dipakai, dan diterima oleh seluruh penduduk Nusantara, termasuk oleh penduduk Jawa.
Sejarah mencatat, bahwa
arogansi Jawa dalam budaya telah diterjemahkan dalam berbagai macam
sector. Antara lain adalah bahasa, terdapat unsur kesengajaan serta
penggunaan bahasa Jawa yang berlebihan oleh pejabat-pejabat
pemerintahan, yang berujung pada jawanisasi dari bahasa Indonesia.
Lihatlah pejabat-pejabat dari etnis Jawa seenaknya berkomunikasi-publik menggunakan
bahasa dan ungkapan Jawa. Silahkan anda cek Kamus Besar Bahasa
Indonesia, berapa persen kosa kata baru yang berasal dari Bahasa
Jawa? Pemerkosaan budaya melalui bahasa, hanya salah satu contoh dari
pemerkosaan budaya etnis-etnis lain oleh arogansi dan kepicikan
pemimpin-pemimpin etnis Jawa. Budaya merupakan cara hidup suatu
komunitas, intervensi terhadap budaya merupakan penjajahan
yang paling menyentuh harkat dasar kemanusiaan suatu komunitas.
Kini
saatnya, KETIDAKADILAN DAN PEMERASAN POLITIK, BUDAYA DAN EKONOMI ITU
DIHENTIKAN!
Atau... SUMATERA MERDEKA!!!
* Seperti yang ditulis oleh "Cucu Bung
Hatta" di Forum Topix dan Inspirasi dari buku "Mengapa Sumatera
Menggugat"